Kisah Batu Sepak
Dahulu, hiduplah sepasang suami istri yang tinggal di Sriwijaya. Hari itu sang suami
baru saja pulang dari bekerja. Tiba-tiba tetangganya menghampiri seraya
berbisik.
“Tadinya kulihat istrimu membiarkan lelaki tampan
masuk ke rumahmu. Kau tak cemburu?”
Mendadak, amarahnya meledak. Segera ia berlari menuju
rumah. Rupanya benar, seorang lelaki tengah tertidur pulas di rumah itu. Segera
ia ambil keris lalu menusuk lelaki itu hingga tewas.
Tiba-tiba sang istri berteriak, “Apa yang kau
lakukan?” ujarnya.
“Oh beraninya kau melakukan ini di belakangku!”
geramnya.
“Kau pikir aku sehina itu. Dia itu adik iparmu. Adik
kandungku. Ia baru saja tiba untuk menemui kita.”
Seketika itu juga, sang suami pun terduduk lemas. “Ya
Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?” sesalnya.
Melihat kejadian itu, sang istri segera mengirimkan surat ke Desa Tik Tleu atau kota Baru yang konon melalui angin. Ketika pesan itu sampai,
sontak membuat semua orang kaget.
Kisah ini sebenarnya
berawal ketika Raden
Getar Bumi yang masih keturunan Tuan Rajo Bintang dari Desa Pelabai
memiliki empat orang putra. Salah seorang putranya yang terkenal yaitu Tuan rajo Gicing alias Hulu Balang Ciket.
Pada suatu ketika, salah
seorang putra Raden Getar Bumi, tiba-tiba bertanya kepada ayahnya.
“Ayah, apakah ayah memiliki seorang putri?”
“Iya, anakku. Sekarang ia berada di Sriwijaya bersama
suaminya.”
“Suatu saat, aku akan menemuinya,” ungkap sang anak.
Dan begitulah selanjutnya. Sang anak harus tewas
meregang nyawa akibat sang kakak ipar yang langsung bertindak sebelum bertanya.
Semua yang berada di Desa Tik Tleu yang tengah geger lalu berkumpul dan bersiap-siap ke
Palembang. Namun, sebelum berangkat mereka adu ketangkasan.
Mereka bermain bola sepak raga atau bola takrau. Sampai berjam-jam bola tak jua jatuh ke tanah.
Melihat kejadian ini, saudara yang paling tua Hulu
Balang Ciket merasa panas hatinya. Karena ia merasa diremehkan, maklum saja dia
saudara paling tua, berbeda, kecil, pendek, lagi pula memiliki kaki yang
pincang, tidak seperti saudaranya yang lain, gagah, tampan, serta perkasa. Hulu
Balang Ciket lalu mengambil sebuah batu besar, kemudian ditendang sehingga
melayang ke udara, lalu ia berkata “Ayo bermain bersamaku!” para pendekar lain
bersiap-siap untuk menghindar, takut terkena batu. Kemudian batu yang ditendang
sampai ke Padang Hinoea, kemudian batu itu tersangkut di atas dahan pohon
durian hingga bertahun-tahun
lamanya. Batu itu
pun jatuh sampai pohon itu mati.
Singkat cerita, para pesilat
pilihan, lalu bertolak menuju Palembang. Mereka terdiri dari para pendekar yang ingin menuntut balas atas kematian adiknya.
Di pihak Palembang yang sudah mengetahui
kejadian itu juga bersiap untuk bertempur, hingga desa mereka dikelilingi
dengan parit yang di isi ranjau bambu berbisa. Di pinggir parit pun dibangun pagar bambu yang tinggi sehingga
terbentuklah sebuah jebakan. Pada akhirnya, mereka pun bertempur dengan kekuatan yang sama kuatnya. Akan tetapi pihak dari Desa Tik Tleu memenangkan pertarungan.
Comments
Post a Comment