Kisah Batu Badak
Dahulu kala hiduplah seorang lelaki yang sakti
mandraguna, di mana setiap ucapannya dapat menjadi kenyataan. Dialah Si Pahit Lidah yang hidup sebatang kara dan berkelana dari satu tempat ke tempat lain.
Hari itu dia berjalan dan tanpa sengaja bertemu dengan seorang nenek yang baru pulang dari ladang. Tampak keduanya saling
melempar sapa, lalu kembali mengulang langka.
Namun, seketika pijakan kaki lelaki itu terhenti. Ia
lalu menoleh ke arah keranjang sang nenek. Rupanya tampak sehelai selendang
cantik tergolek indah di dalamnya.
“Tunggu sebentar, Nek! aku ingin bertanya.”
“Apalagi? Hari sudah sore. Nenek mau pulang,” jawab sang nenek.
“Dari mana
nenek dapatkan selendang itu?”
Sayangnya sang nenek tak menghiraukan pertanyaan itu. Ia
tetap berlalu dan menghilang dalam gelap.
“Awas saja! Akan kutemukan dari mana selendang itu
berasal,” ucap batinnya.
Akhirnya Si Pahit Lidah mencari si nenek dari
satu desa ke desa yang lain. Dari satu rumah ke rumah
yang lain. Cukup jauh memang. Namun, tak tak apa demi memuaskan dahaga
penasarannya.
Hingga pada akhirnya tibalah dia di suatu desa yang tempat tinggalnya di
pinggir sungai yang sangat jernih. Ia putuskan untuk istirahat
sejenak lalu kembali mencari sang nenek.
Sayang seribu sayang, entah kenapa tak satu batang hidung pun tampak
oleh mata kepalanya. Pintu-pintu rumah tertutup dan acapkali dipanggil rumah-rumah sepi seolah
kuburan.
“Ah sial! Ada apa dengan mereka?” ungkapnya.
Ia lalu melanjutkan langkah. Seketika tatapannya
menyorot langsung ke arah sekumpulan
perempuan gemuk
sedang berbaris mencari
kutu. Mereka tampak asyik bercerita, maka ke sanalah Si Pahit Lidah berjalan.
“Maaf, saya mau bertanya. Apakah kalian pernah melihat seorang nenek
yang lewat membawa keranjang yang berisi selendang yang sangat indah?”
Rupanya
pertanyaan itu sama sekali tidak mereka gubris. Sekali lagi Si pahit Lidah pun
bertanya. Namun, reaksi mereka tetap sama. Sampai untuk yang ketiga kalinya rekasi
masih tetap sama.
“Oh asyik sekali kalian bercerita sampai-sampai membuat kalian
angkuh dan tak mau mendengarkanku. Sungguh kalian tak ubahnya batu badak yang
keras,” ujar Si Pahit Lidah sambil berlalu.
Mendadak wanita-wanita itu berubah menjadi batu. Batu tersebut terlihat seperti badak berbaris karena
tubuh mereka yang dikutuk tersebut amatlah subur. Sampai saat ini, batu-batu itu masih berbaris kokoh di Desa Apur.
Comments
Post a Comment