Kisah Batu Betangkup
BATU BETANGKUP
Cerita ini dimulai dari kehidupan seorang ibu bersama
kedua anak gadisnya di sebuah desa.
Mereka hidup serba kekurangan.
Oleh karena itu, sang ibu tampak sangat gelisah. Pikirannya kemudian dirasuki oleh
jin yang membuat sang ibu tidak mampu mengendalikan diri. Hingga muncullah niat buruk dalam batin sang ibu.
“Nak, Emak akan
pergi membuang dedak. Kalian berdua tetaplah
di sini!” ujar sang ibu.
“Kemana Emak akan
membuangnya ?” tanya anak yang paling tua.
“Belum tau,
nak. Pokoknya kalian berdua harus tetap di rumah.”
“Iya, Emak,” jawab mereka sambil mengangguk.
Keesokan harinya pergilah sang ibu dengan membawa keranjang
yang berisikan dedak. Namun,
ternyata keranjang yang digunakan berlubang, sehingga dedak pun berceceran sepanjang perjalanan.
Setelah berhari-hari
pergi, sang
ibu belum juga pulang menampakkan
diri.
“Emak kemana
ya, Kak? Aku takut hal buruk menimpanya.”
“Sabar saja
dulu, adikku! Mungkin emak masih dalam perjalanan
pulang.”
Setelah ditunggu beberapa hari sang ibu tak kunjung pulang ke rumah. Akhirnya kedua bersaudara itu
memutuskan untuk mencari sang ibu.
“Kak dedak yang dibawa Emak berceceran,” ujar sang adik yang
tengah digendong sang kakak.
“Kita turuti saja, dik!” jawab sang
kakak.
Tak lama kaki mereka berputar searah
ceceran dedak. Berhari-hari menyusuri jalan
mengikuti dedak, seolah
kaki mereka tak kenal lelah. Namun, Seketika harapan
untuk bertemu sang ibu pun pupus karena bekas dedak yang berceceran berakhir
pada sebuah batu besar yang tak
ubahnya tempurung kelapa. Keduanya lalu memutuskan untuk menginap di sana.
“Kak sudah berapa hari kita menginap
di sini tapi ibu tak kunjung ditemukan,” ujar sang adik.
“Ya sudah kita pulang saja ya dik,”
jawab sang kakak.
Tiba-tiba terdengarlah sesosok suara
yang terdengar tak asing lagi di telinga mereka.”
“Nak, pulanglah! Emak ada di dalam batu ini dan tidak
dapat keluar dari sini.”
Menangislah kedua
saudara itu sembari memanggil ibu mereka.
Tiba-tiba terdengar lagi suara dari dalam batu besar itu.
“Coba kalian cari rambut mak di celah batu besar ini.
Jika bertemu
maka cabutlah dan ikatkan pada ibu jari tangan adikmu. Sesampainya di rumah
nanti maka tanamkanlah di samping rumah kita!” pesan sang ibu.
Mendengar petunjuk suara tersebut, keduanya segera mencari rambut tersebut. Mereka lalu menemukannya dan
diikatkanlah
oleh sang kakak sesuai petunjuk yang diberikan suara tadi. Dengan berat hati
keduanya pergi meninggalkan batu besar itu. Namun, ketika setengah dalam perjalanan pulang, mereka pun tersesat. Sementara itu, hari semakin sore dan malam pun segera menyapa.
Singkat cerita, keesokan harinya mereka kembali melanjutkan
perjalanan,
tetapi belum juga mampu
menemui jalan pulang. Tiba-tiba terdengarlah kokok ayam.
“Dik, dengar suara itu? Mungkin kita sudah dekat dengan kampung,” ujar sang kakak.
“Iya, Kak. Kalau begitu mari
bergegas!”
Mereka pun tampak semangat meniti
jalan dengan harapan dapat kembali menemukan rumah tercinta. Namun sayang yang
mereka temukan bukanlah kampung yang dicinta, malah rumah asing di tengah hutan
yang tak tahu siapa pemiliknya. Rumah itu cukup besar tapi tidak terlalu
tinggi.
“Permisi!” mereka mengetok-ngetok
pintu rumah itu.
Sayang, tak sedikitpun respon yang
terdengar dari tuan rumah.
“Kita masuk saja Kak!” saran sang
adik.
Keduanya kemudian berjalan masuk ke
dalam rumah itu. Tampak banyak ditemukan ikan kering, beberapa hewan peliharaan, dan seekor ayam jantan.
“Dik, mari bersembunyi
di atas plafon rumah!” saran
sang kakak.
Keduanya kemudian mengambil tangga
lalu bersembunyi di atas. Beberapa saat kemudian pulanglah
pemilik rumah. Rupanya sang tuan rumah
adalah seekor monyet bertubuh besar. Ia baru saja menjaring mencari ikan. Tak lama kemudian, ia berjalan ke
dapur untuk memasak nasi.
“Hmm… kira-kira
beras mana yang akan dimasak hari ini? Beras putih jangan ah! Beras ketan sayang ah! Ya sudah aku masak beras lama saja,” ujar sang monyet sambil memilih beras usang berulat itu.
“Mungkin inilah yang disebut dengan monyet sesayang (Pemilih)” gumam sang kakak sembari mengamati monyet besar itu.
Setelah memilih beras yang akan dimasak, tibalah monyet itu memilih tempat untuk memasaknya.
“Masak di tembikar sayang! Kuali baru sepertinya jangan ah! Ahah sepertinya di pecahan
kuali ini saja!”
kata sang monyet.
Setelah nasi dimasak,
maka tibalah waktunya untuk memasak
lauk dan pauk.
“Masak apa kira-kira ya? Ikan lele jangan ah. Ikan kering sayang. ikan basah sayang. Ah masak
kasam ini saja!” ungkap sang monyet.
Masakan pun kini tersaji dengan
nikmatnya. Sang monyet pun menyantap dengan lahapnya. Perut kenyangnya kemudian
membuatnya mengantuk.
“Tidur di mana ya kira-kira? Tidur di kamar sayang, tidur di
palfon sayang. Ah sebaiknya
tidur dengan ayam jantan di bawah rumah saja,” ungkapnya.
Akhirnya tidurlah
monyet sesayang dengan ayam jantan di bawah rumah. Sementara itu, sang kakak yang masih terjaga turun. Ia mencoba menghidupkan api di dapur kemudian
dimasaknyalah air satu kuali
besar hingga mendidih. Didihan itu
pun terdengar sampai ke telinganya.
“Wah
sepertinya hujan. Pasti perangkap bubuku banyak mendapat ikan,” ungkapnya.
Setelah mendidih, sang kakak kemudian meneteskan air panas tersebut ke bawah hingga mengenai tubuh sang monyet.
“Ah ini pasti ulah semut-semut itu!”
ujarnya.
Berkali-kali
pula sang kakak meneteskan air yang tengah mendidih tadi. Hingga sang monyet pun
begeser-geser dari tempat tidurnya.
Bam... dituangkannyalah
air mendidih satu kuali
besar. Kontan saja hal ini membuat sang monyet kepanasan lalu tersungkur tak
bergerak. Lama sang kakak mengawasi. Belum juga tampak pergerakan makhluk itu.
Esok harinya, Sang kakak segera memeriksa tubuh sang monyet. Rupanya ia sudah
mati. Sang monyet lalu dikubur. Rumah itu pun kemudian menjadi milik mereka. Teringatlah keduanya akan pesan sang ibu untuk menanamkan rambut yang
dicabutnya dari batu besar. Segera mereka melakukan
perintah itu.
Hari demi hari pun
berlalu. Tumbuhlah rambut itu
menjadi sebuah
labu. Labu itu pun
semakin hari semakin tumbuh besar.
“Wah betapa
besarnya labu ini, dik. Bagaimana jika kita masak setengah buah ini?” tanya sang kakak.
“Sepertinya
itu ide yang bagus, Kak.”
Dipetiknyalah labu besar tadi, kemudian digulingkanlah ke bawah rumah lalu dibelah.
“Pelan-pelan,
nak! Mak takut akan terkena tajamnya pisau kalian,” terdengar suara dari dalam labu.
“Ibu!” ujar sang kakak.
Perlahan labu pun dibelah dengan
sangat hati-hati. Betapa terkejutnya
mereka sang ibu rupanya masih hidup.
“Kak,
akhirnya emak
kita kembali,” ujar sang adik.
Ketiganya kemudian berpelukan. Kini
mereka pun bersatu kembali.
“Nak, biarkan Emak yang membakar potongan labu itu. Tunggu malam purnama, Emak akan
membakarnya,” ujar sang emak.
Tibalah saat bulan terang, sang ibu pun membakar potongan labu tadi. Asap dari kulit labu bertebaran ke mana-mana. Asap yang ada di darat berubah menjadi peliharaan,
asap yang ada di
atas menjadi burung-burung,
dan yang ada di air
menjadi ikan-ikan. Akhirnya, hidup mereka pun bahagia di rumah monyet itu. Mereka hidup serba berkecukupan. Tak lama, banyak masyarakat yang berdatangan
lalu menetap di sana.
Comments
Post a Comment