INTERTEKSTUALITAS


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada kenyataanya karya sastra, tidak hadir atau diciptakan dalam kekosongan budaya, namun karya sastra hadir atau diciptakan karena adanya seorang pengarang yang menuliskannya. Karya sastra diciptakan pengarangnya untuk menanggapi gejala-gejala yang terjadi pada masyarakat sekelilingnya, bahkan seorang pengarang tidak terlepas dari paham-paham, pikiran-pikiran atau pandangan dunia pada zamannya atau sebelumnya. Semua itu tercantum dalam karyanya. Dengan demikian, karya sastra tidak terlepas dari kondisi sosial budayanya dan tidak terlepas dari hubungan kesejarahan sastranya.
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum atau sesudahnya. (Pradopo, 2003: 167).
Prinsip Intertekstual yaitu karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra lain, baik dalam hal persamaannya maupun pertentangannya. Kajian sastra perbandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya. (Riffaterre, 1978: 23). Jadi, hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar penciptaan karya lain.Menurut Julia Kristeva, tiap teks merupakan mozaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal yang bagus dari teks lain, berdasarkan tanggapannya dan diolahnya kembali dalam karyanya.
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Kristeva (Culler, 1977), setiap teks adalah mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain. Dengan kata lain, setiap teks dari suatu karya sastra biasanya mengambil bentuk, intisari atau pokok-pokok yang baik dari teks lain dengan berlandaskan persepsi yang diolah kembali oleh pengarangnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian intertekstualitas?
2.      Bagaimanaakah orisinalitas suatu teks?
3.      Apa saja pokok kajian intertekstualitas?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mendeskripsikan apa definisi dari intertektualitas.
2.      Untuk mendeskripsikan bagaimana orsinalitas teks.
3.      Untuk mendeskripsikan pokok kajian intertektualitas.

D.    Manfaat Penulisan
Berikut beberapa manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Sebagai refernsi bagi mahasiswa.
2.      Dapat diterapkan dalam proses pembelajaran.
3.      Dapat menjadi bahan kajian bagi dosen ataupun mahasiswa.


BAB II
PENDAHULUAN

A.    Pengertian Intertektualitas
Interteks berasal dari akar kata inter + teks. Prefiks inter yang berarti (di) antara, dalam hubungan ini memiliki kesejajaran dengan prefiks ‘intra’, ‘trans’, dan‘para’. Teks, barasal dari kata textus (Latin), yang berarti tenunan, anyaman, susunan, dan jalinan. Dengan demikian, intertekstual didefenisikan sebagai jaringan antara teks yang satu dengan teks yang lain. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam kaya penulis tunggal, transtekstual, merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interrelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer, kulit buku, ilustrasi dan sebagainya.[1]
Intertekstual adalah sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan dari teks-teks lainnya. Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Suatu teks dipahami tidak berdiri sendiri. Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, pengarang sebuah teks adalah pembaca sebelum ia penulis teks-teks. Teks yang ditulis tentu dipengaruhi oleh teks-teks lain yang dibaca oleh sang pengarang. Dalam proses penulisan teks, pengarang menggunakan berbagai rujukan atau kutipan dari teks-teks yang telah ia baca. Kedua, sebuah teks tersedia melalui proses pencarian materi yang hendak ditulis. Dalam proses tersebut, ada pertentangan maupun penerimaan akan materi-materi yang ditemukan dalam teks-teks yang dibaca.
Rohman mendefenisikan metode intertektual sebagai teknik mengolah dua objek kajian yang dilandasi pada asumsi adanya keterpengaruhan.[2] Dasar asumsinya bahwa tidak ada sebuah karya sastra yang benar-benar orisinil tanpa adanya pengaruh dari karya-karya lainnya.  Setiap karya sastra pasti memiliki hubungan dengan karya-karya lainnya. Hubungan dua karya sastra itu biasa dikaji dalam sastra bandingan. Tema-tema kajian itu antara lain genre, tema, bentuk, aliran, ideologi, dan lain-lain. Hubungan itu dapat diidentifikasi berdasarkan dua hal berikut:
1.      Hubungan pengaruh (influence). Pengaruh ini merupakan asumsi ada satu karya yang memberikan kaitan sebab akibat dengan karya sesudahnya. Sebagai hasil olah kreatif, karya sesudahnya banyak sedikit pengaruh di dalamnya. Hubungan itu dapat dilihat dari struktur frasa, kalimat, frasa, hingga tema besar karya sastra tersebut. Contoh, karya puisi Sapardi Djoko Damono dianggap mamperoleh pengaruh dari Sanoesi Pane dalam hal bentuk. Novel berjuta-juta dari Deli (2006) karya Emil W. Aulia jelas mendapatkan pengaruh dari novel Max Havelaar (1856) Karya Multatuli.
2.      Hubungan kebetulan (immanence). Dua karya memang tidak memilikin pengaruh, tetapi bisa jadi dua karya membahas tema yang sama. Hal itu jelas sebuah kebetulan karena alam kesadaran manusia bisa terhubung melalui mekanisme alam. Sebagai contoh, cerita rakyat Dayang Sumbi tidak memiliki kejelasan pengaruh dengan Odiphus Rex, tetapi jalan ceritanya sama. Dua cerita itu sama-sama menceritakan tokoh yang membunuh ayah untuk menikahi ibunya. Dua cerita itu memberikan pesan larangan inses. Hubungan kebetulan tersebut bisa saja terjadi karena kritikus tidak bisa melacak struktur keterkaitan secara langsung.[3]
Julia Kristeva yang dikutip Junus menyatakan munculnya interteks sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur teks yang masuk ke teks lain itu dapat saja hanya setitik saja.

B.     Prinsip Intertektualitas
Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra, antara lain : (1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat berbagai teks; (2) interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks; (3) interteks mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut; (4) teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap ke dalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji; (5) yang terpenting dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya.
Dalam konsep intertekstual, teks yang menjadi dasar penciptaan teks, yang ditulis kemudian, dipandang sebagai bentuk hipogram (Riffaterre, 1978: 165). Sajak yang menjadi latar penciptaan sajak baru oleh Rifaterre disebut hypogram. Karya yang diciptakan berdasarkan hipogram itu disebut sebagai karya transformasi karena menstransformasikan hipogram itu. Unsur-unsur yang diserap sebuah teks dari teks-teks hipogram yang mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, gagasan, atau berbagai unsur instrinsik yang lain, bahkan dapat pula berupa sifat kontradiksinya, akan menghasilkan sebuah karya baru sehingga hipogramnya mungkin tidak dikenali lagi, atau bahkan dilupakan (Riffaterre, 1978: 165). Hal itu memungkinkan lahirnya dua buah karya yang mempunyai tema sama, tetapi berbeda cara penyajian ceritanya. Demikian sebaliknya, terdapat cara penyajian ceritanya yang sama, tetapi berbeda dari segi temanya (Culler, 1977: 241).
Hipogram dibedakan menjadi dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual (Riffaterre, 1978: 23).  1). Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda pada sebuah teks sehingga makna teks dapat dipahami pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks yang sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial itu adalah matrik yang merupakan inti dari teks atau kata kunci, yang dapat berupa kata, frase, klausa, atau kalimat sederhana. 2). Hipogram aktual adalah teks nyata, yang dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikansi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama, bahkan dunia ini. Hipogram tersebut direspon atau ditanggapi oleh teks baru. Tanggapan tersebut dapat berupa penerusan atau penentangan tradisi atau konvensi. Adanya tanggapan itu menunjukkan bahwa keberadaan suatu teks sastra adalah dalam rangka fungsi yang ditunjukkan kepada pembaca.

C.    Orisinalitas Teks
Di zaman ketika perkembangan teknologi canggih berkembang cepat seperti sekarang ini, hampir tidak mungkin lagi kita berhubungan dengan benda budaya yang sepenuhnya asli. Orsinilitas berarti keaslian atau ketulenan. Keaslian dan ketulenen yang dimaksudkan disini adalah keaslian suatu karya sastra. Akan tetapi karya sastra pastinya mendapatkan pengaruh yang tidak hanya sekedar proses peniruan yang menimbulkan karya sastra baru berdasarkan karya sastra yang sudah ada.
Konsep pengaruh mencakup spectrum yang luas, mulai dari pinjaman sampai ke tradisi. Sastrawan mempunyai kecendrungan untuk meminjam, langsung atau tidak langsung. Drama-drama Shajespeare yang dianggapsebagai tonggak sastra dunia itu menurut beberapa pakar diangap tidak ada yang “asli”, alias semuanya pinjaman atau curian-curian.
Jika dalam novel-novel mengenai Roro Mendut yang disebut terdahulu itu pengarang mengacu langsung kepada sumbernya dengan cara menyebutkan nama tokoh, bahkan menggunakannya sebagai judulnya, dalam Siti Nurbaya alur kisah itu ciptaan asli Mh. Rusli. Dala Siti Nurbaya, took utama itu sebenarnya adalah Juliet dan pasanganya, Samsulbachri, adalah Romeo. Pinjaman itu tampak samar karena kisah “baru” yang ditulis Mh. Rusli itu mengambil latar yang sama sekali berbeda, disamping pemanfaatannya sebagai alat untuk menyampaikan gagasan semasa.
Cara yang serupa kita dapati dalam Salah Asuhan.  Kisah zaman modern yang melibatkan seorang tokoh bernama Hanafi itu sebenarnya merupakan pengembangan dari Malin Kundang, seorang pemuda desa yang mengembara kenegri-negri asing dan pulang sebagai orang yang sama sekali lain, yang tidak mengenal dan sekaligus tidak dikenal masyarakatnya lagi. Hanafi berkenlana ke alam pikiran Barat dan tersesat disana sehingga tidak tahu jalan pulang. Malin kundang dikutuk menajdi batu sementara Hanafi harus bunuh diri karena tidak lagi mengetahui jalan keluar bagi kemelut hidupnya.
Perkembangan sastra modern menunjukan adanya proses saling mencuri atau saling meminjam tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu karya satsra tidak berdiri sendiri atau mendapatkan pengaruh dari karya sastra yang lain. Pengarang ketika mengekspresikan karyanya, telah meresepsi karya sebelumnya. Hanya saja, terjadinya interteks tersebut ada yang sangat vulgar dan ada pula yang sangat halus. Semua kasus interteks bergantung keahlian pengarang menyembunyikan atau sebaliknya memang ingin menampakkan karya orang lain dalam karyanya.

D.    Pokok Kajian Inter Teks
Kajian satra bandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Menurut Riffartere (Endraswara: 132) hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya. [4] Jadi, hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya.
Hipogram dan transformasi ini akan jalan terus-menerus sejauh proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan”induk” yang akan menetaskan karya-karya baru. Dalam hal ini, peneliti sastra berusaha membandingkan antara karya “induk” dengan karya baru. Namun, tidak ingin mencari keaslian sehingga menganggap bahwa yang lebih tua lebih hebat, seperti halnya studi filologi. Studi interteks justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreatifitas pengarang.
Menurut Pradopo prinsip dasar intertekstualitas (Endraswara: 133) adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikutnya adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian, mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangan sendiri, dengan horison dan atau harapannya sendiri.[5]
Dengan adanya sumber tertentu yang dimanfaatkan dalam proses interteks, maka konsep yang dianggap penting adalah hipogram. Riffaterre mendefenisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika.Hipogram mungkin kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Hipogram memiliki hubungan dengan anagram dan paragram menurut pemahaman Saussure. Perbedaannya, apabila paragram memiliki cirri-ciri leksikal dan grafemis, sebaliknya hipogram adalah kata-kata yang terikat dalam kalimat yang secara organisatoris merefleksikan prasyarat matriks kara-kata inti.
Pengarang, baik secara sadar atau tidak menggunakan hypogram untuk matriks atau kata-kata kunci yang pada gilirannya melahirkan model atau serial varian. Menurut Riffaterre, matriks, model, dan teks adalah varian hipogram. [6] Dalam studi kultural teori interteks jelas berfungasi untuk mengevokasi keberagaman kultural. Sebagai mosaik, maka kutipan adalah pesan tertentu. Objek, yaitu kutipan itu sendiri yang mengarahkan aktifitas subyek.[7]
Hipogram karya sastra akan meliputi:
1.      Ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya,
2.      Konversi adalah pemutarbalikkan hipogram atau matriknya,
3.      Modifikasi, adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan jalan cerita sama,
4.      Ekserp, adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalamhipogram yang disadap oleh pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika penulis belum biasa membandingkan karya.
Dari penelitian interteks, akan terlihat lebih jauh bahwa karya berikutnya merupakan respon pada karya-karya sebelumnya. Karenanya, Cortius menyatakan bahwa karya sastra adalah barisan teks atau himpunan teks. Penampilan teks pada teks lain tersebut dapat dirumuskansebagai berikut:
a.       Kehadiran teks secara fisik suatu teks dalam teks yang lainnya,
b.      Kehadiran teks pada teks lain kemungkinan hanya berupa kesinambungan tradisi, sehingga pencipta sesudahnya jelas telah membaca karya sebelumnya.
Kehadiran teks lain pada suatu teks, akan mewarnai teks baru tersebut. Dalam kaitan ini, Riffaterre menyatakan bahwa karya sastra (sajak) biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal persamaannya maupun pertentangannya. Hal ini menyugestikan bahwa karya sastra yang lahir kemudian, sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Karya sastra yang lahir berikutnya merupakan “pantulan” karya sebelumnya. Pantulan tersebut dapat langsung maupun tidak langsung.
Jika pantulan itu langsung, tentu karya tersebut memiliki hubungan interteks yang sangat tajam. Senbaliknya, jika pengaruh tersebut tidak langsung akan menimbulkan hubungan interteks yang halus. Hubungan interteks yang pertama, akan mudah diketahui siapa saja yang telah membaca beberapa karya. Sedangkan interteks yang kedua, tentu menbutuhkan kejelian membaca untuk mengetahuinya.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Intertekstual didefenisikan sebagai jaringan antara teks yang satu dengan teks yang lain. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam kaya penulis tunggal, transtekstual, merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interrelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer, kulit buku, ilustrasi dan sebagainya. Intertekstual adalah sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan dari teks-teks lainnya.
Kajian satra bandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Menurut Riffartere (Endraswara: 132) hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya. Menurut Pradopo prinsip dasar intertekstualitas (Endraswara: 133) adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram.

B.     Saran
Intertekstual adalah sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan dari teks-teks lainnya. Oleh karena itu, kita harus banyak membaca serta memahami dari berbagai referensi sebelum membandingkan suatu karya sastra dan kita harus mengetahui bahwa suatu teks tidak dapat berdiri sendiri.
Sehubungan dengan hasil penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para pembaca agar diadakan pengkajian lanjutan yang berjudul sama dengan makalah ini, agar ditemukan pengertian dari intertektualitas, orsinalitas teks ,dan pokok kajian inter teks yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitan Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Endraswara, Suwardi. 2002. Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: CAPS.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Culturaln Studies Representasi Fiksi Dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penulisan Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rohman, Saifur. 2012. Pengantar Metodologi Pengajaraan Sastra. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra (Sebuah Pengantar). Jakarta: PT Grmaedia.
Masyarakat Poetika Indonesia. 2015. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.






[1] Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Culturaln Studies Representasi Fiksi Dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 211-212.
[2] Saifur Rohman, Pengantar Metodologi Pengajaraan Sastra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h 84-85.
[3] Saifur Rohman, Pengantar Metodologi Pengajaraan Sastra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal. 84-85.
[4] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS, 2002), hal. 131
[5] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS, 2002), h.132.
[6] Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Culturaln Studies Representasi Fiksi Dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 217
[7] Ibid., hal. 217

Comments

Popular posts from this blog

METODE PEMBELAJARAN MENYIMAK

Pantun daerah padang guci

APRESIASI PROSA FIKSI