Masa Disentegrasi
MAKALAH
SEJARAH PERADABAN ISLAM
“Masa Desintegrasi”
Disusun Oleh:
UNGKI SATRO (1416142354)
Dosen :
Orin Oktasari, M.H.I
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLA M NEGERI
(IAIN) BENGKULU
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi. Dalam makalah ini kami membahas tentang pengertian profesi dan lingkup etika, pengertian etika profesi, peranan dan prinsip etika profesi, serta kode etik profesi dan standar profesi. Ucapan terima kasih pun tidak lupa kami ucapkan kepada pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu masukan berupa kritikan dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini. Akhir kata,kiranya makalah ini dapat berguna dan bisa menjadi pedoman bagi mahasiswa untuk dapat mempelajari serta memahami tentang etika profesi. Sekian dan terima kasih.
Bengkulu, Januari 2018
Penulis
MASA DESINTEGRASI
A. Pendahuluan
Sebagaimana dijelaskan pada pemateri sebelumnya, hanya pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Pada periode-periode sesudahnya, pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul di mana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik. Keberhasilan penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri ini makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan benar-benar berada di tangan khalifah. Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu para khalifah sangat lemah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan bermewah-mewah, ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktorlainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini member peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula diangkat oleh khalifah Al-Mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam khalifah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih bisa bertahan lebih dari empat ratus tahun.
B. Pembahasan Masa Disintegrasi
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Semenjak pemerintahan Harun ar-Rasyid (786-809 M./ 170-194H). Dikatakan pada saat itu terjadinya masa keemasan bani Abbasiyah. Tetapi pada waktu inilah terjadi benih-benih disintegrasi tepatnya pada saat penurunan tahta. Harun Ar-rasyid telah mewariskan tahta kekhalifaan pada putra tertuanya yaitu Al-Amin (809-812 M./ 194-198 H) dan kepada puteranya yang lebih muda yaitu al-Ma’mun yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Khurasan. Setelah wafatnya Harun ar-Rasyid, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akhirnya pecah perang sipil. Al-amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Ma’mun harus berusaha memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma’mun akhirnya dapat mengalahkan saudara tertuanya al-Amin dan mengklaim khalifah pada tahun 813 H. Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi lainnya.
Pada masa kekhalifaan al-Ma’mun (198-218 H./813-833 M) juga terjadi disintegrasi yang menyebabkan munculnya dinasti Thahiriyah, yang didirakan oleh Thahir, dia adalah mantan guberner Khurasan dan menjadi jendral militer Abbasiyah, yang diangkat rena membantu merebut kekuasaan al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan kepada Thahir dan berjanji jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Upaya untuk menyatukan kalangan elit dika bawah arahan khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya pemerintahan dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan penguasa gubernur besar.
Dinasti-Dinasti Yang Memerdekakan Diri Dari Baghdad\
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi, berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam, hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan, dalam kenyataanya, banyak daerah yang tidak dikuasai khalifah. Sebenarnya, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu, dengan pembayaran upeti. Alasannya, pertama, mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, kedua, penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Provinsi-provinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun, pada saat wibawa khalifah sudah memudar, mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti sang khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri. Selain itu, datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuata militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.
Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khusunya tentara Turki dengan. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya ternyata, menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi, pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan/anti Arab). Tampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga, meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusastraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya:
Yang berbangsa Persia:
Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M),
Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M),
Samaniyah di Transoxania, (261-318 H/873-998 M),
Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M),
Buwaihiyyah, (320-447 H/932-1055 M).
Yang berbangsa Turki:
Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M),
Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M),
Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M),
Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:
Seljuk besar atau seljuk Agung, didirikan oleh Rukn Al-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522 H/1037-1127 M),
Seljuk Kirman di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M),
Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M),
Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M),
Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia Kecil, (470-700 H/1077-1299 M)
Yang berbangsa Kurdi:
Al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M),
Abu Ali, (380-489 H/990-1095 M),
Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 M).
Yang berbangsa Arab:
Idrisiyyah di Marokko, (172-375 H/788-985 M),
Aghlabiyyah di Tunisia, (184-289 H/800-900 M),
Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M),
Alawiyah di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M),
Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929-1002 M),
Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M),
Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1095 M),
Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
Umawiyah di Spanyol,
Fathimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia, dan Turki. Di samping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi’ah, ada yang Sunni. Factor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah terhadap mereka sangat tinggi.
Keuangan Negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
B. Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1905, saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat kristen yang hendak berziarah ke sana. Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M).
Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode:
Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.
Periode Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya.[31] Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria.[33] Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Penutup
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Penyebab terjadinya disintegrasi pada masa kekhalifahan Islam di masa lampau yaitu di antaranya; adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad, perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan dan munculnya tiga kerajaan besar Islam.
Kami sadar makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami harap kritik dan saran dari Bapak/Ibu dosen serta teman-teman untuk lebih baiknya makalah ini. Kami menyarankan kepada kita semua untuk mempelajari dan memahami masa disintegrasi kekhalifahan Islam agar kita mengetahui dampak dari disintegrasi terhadap keutuhan dan kesatuan kita sebagai umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014).
Supriyadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:Pustaka Setia, 2008).
Rama Bahaking, Sejarah Pendidikan dan Peradaban Islam dari Masa Umayah Hingga Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: Cakrawala Publishing: 2011).
Badri Yatim.2003. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Ilslamiyah II. Jakarta: LSIK.
Fatah Syukur. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra
Comments
Post a Comment