KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA
SEJARAH PERADAPAN ISLAM
KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA
DISUSUN OLEH:
UUNGKI SATRO (1416142354)
DOSEN
Orin Okta Sari.MHI
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
ISTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) BENGKULU
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, di pasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian di jual pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera, (Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa).
Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abd I H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka, jauh sebelum di taklukkan Portugis (1511), merupakan pusat utama lalu-lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat, perjalanan laut melintasi Laut Arab. Dari sana perjalanan bercabang dua. Jalan pertama di sebelah utara menuju Teluk Oman, melalui selat Ormuz, ke teluk Persia. Jalan kedua melalui Teluk Aden dan laut Merah, dan dari kota Suez jalan perdagangan harus melalui daratan ke Kairo dan Iskandariah. Melalui jalan pelayaran Tersebut, kapal-kapal Arab, Persia, dan India mondar-mandir dari Barat ke Timur dan terus ke negeri Cina dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang perginya.
Dari berita Cina dapat diketahui bahwa di masa dinasti Tang (abad ke-9-10) orang-orang Ta-Shih sudah ada di kkanton (Kan-fu) dan Sumatera. Ta-Shih adalah sebutan untuk orang-orang Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah menjadi Muslim. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan Timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayyah di bagian barat dan kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara. Akan tetapi, menurut Taufik Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang Muslim itu beragama Islam. Adanya koloni itu, diduga sejauh yang paling bisa dipertanggungjawabkan, ialah para pedagang Arab tersebut, hanya berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.
Baru pada zaman-zaman berikutnya, penduduk kepulauan ini masuk Islam, bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang Muslim itu. Menjelang abad ke-13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang di Sumatera. Di Jawa, makam Fatimah binti maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082 M), dan Makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M merupakan bukti berkembangnya komunitas Islam, termasuk di pusat kekuasaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit. Namun, sumber sejarah yang sahih yang memberikan kesaksian sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan tentang berkembangnya masyarakat Islam di indonesia, baik berupa prasasti dan historiografi tradisional maupun berita asing, baru terdapat ketika ‘’komunitas islam” berubah menjadi pusat kekuasaan.
Rumusan Masalah
Untuk memudahkan mencari materi yang akan dijelaskan dalam makalah ini, kami membuat rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimana kedatangan islam di Indonesia?
Bagaimana Kondisi dan Situasi politik Kerajaan- Kerajaan di Indonesia ?
Bagaimana Munculnya pemukiman- pemukiman muslim di kota- kota pesisir ?
Bagaimana Saluran dan cara- caraislamisasi di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Ingin mengetahui bagaimana kedatangan islam di Indonesia
Ingin mengetahui bagaimana Kondisi dan Situasi politik Kerajaan- Kerajaan di Indonesia
Ingin mengetahui bagaimana Munculnya pemukiman- pemukiman muslim di kota- kota pesisir
Ingin mengetahui bagaimana Saluran dan cara- cara islamisasi di Indonesia
BAB II PEMBAHASAN
Kedatangan Islam Di Indonesia
Sebelum agama islam masuk ke Indonesia, berbagai macam agama dan kepercayaan seperti Animisme, Dinamisme, Hindu, Budha, telah dianut oleh masyarakat Indonesia. Bahakan pada abad ke 7-12 M di beberapa kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan Hindu dan Budha. Menurut hasil seminar “Masuknya Islam di Indonesia” paa tanggal 17-20 Maret 1963 di Medan yang dihadiri oleh sejumlah buayawan an sejarawan Indonesia, disebutkan bahwa agama Islam masuk pertama kali di Indonesia pada abad pertama hijriyah (kira-kira abad 8 M)
Islam masuk ke Inonesia melauali dua jalur yaitu :
Jalur utara, dengan rute : Arab (Mekah dan Madinah) – Damaskus – Baghdah – Gujarat (Pantai Barat India) – Srilangka – Indonesia.
Jalur selatan, dengn rute : Arab (Mekah dan Maddinah) – Yaman _ Gujarat – Srilangka – Indonesia.
Daerah pertama dari kepulauan Indonesia yang dimasuki Islam adalah pantai Sumatra bagaian Utara. Berawal dari daerah itulah Islam mulai menyebar ke berbagai pelosok Indonesia yaitu wilayah-wilayah pulau Sumatra ( selain pantai Sumatra bagaian utara), Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, kepulauan Maluku dan sekitarnya dalam kurun waktu yang berbea-beda.
Keadaan dan Kondisi Politik Kerajaan di Indonesia
Aceh Darussalam
Berbicara mengenai system politik di kerajaaan Aceh Darussalam dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu periode sebelum Sultan Iskandar Muda (1514-1607) dan periode semenjak bertahtahtanya ke belakang.
Untuk periode awal, sebelum Iskandar Muda system perpolitikan Aceh Darussalam masih belum terorganisir secara baik dan rapi mengingat kondisinya baru saja terlepas dari pengaruh pedie sehingga konsentrasi lebih tercurahkan untuk pembenahan militer dalam upaya mempertahankan keberadaannya dari berbagai kemungkinan bahaya yang datang dari dalam maupun dari luar (termasuk pengaruh kolonialis). Disamping itu usaha ekspansi terus dilakukan untuk memperluas wilayah.
Berbeda halnya ketika Tuan Iskandar Muda menduduki tahta kesultanan Aceh, beliau selain menjalankan ekspansi juga begitu antusias untuk menata system politik terutama yang berkaitan dengan konsulidasi atau pemantapan wilayah yang sudah dikuasai. Langakah ini beliau tempuh mengingat betapa system pemerintahan yang mantap dan terkonsulidasi secara seksama akan menciptakan stabilitas yang sehat.
Ada dua sitem yang ditempuh dalam upaya stabilitas kesultanan Aceh pada saat itu : system politik internal (yang menyangkut kepentingan dalam negeri), dan system eksternal (yang berhubungan dengan Negara asing).Kaitannya dalam system politik internal, pada masanya telah terususun struktur pemerintahan secara rapi yang secara koordinatif menghubungkan antara pusat dengan daerah-daerah. Wilayah inti kerajaan Aceh (Aceh Raya) terbagi atas wilayah sagi dan wilayah pusat kerajaan. Tiap sagi terbagi menjadi beberapa Mukim sagi XXV mukim (meliputi Aceh Barat), sagi XXII mukim (berada di bagian Tengah sebelah Selatan), dan sagi XXVI mukim (terletak di bagian Timur). Masing-masing sagi terbagi lagi menjadi wilayah yang lebih kecil setingkat distrik.1
Kemudian masing-masing distrik terbagi atas mukim-mukim (yang dikepalai oleh seorang Imam), dan masing-masing mukim terbagi lagi menjadi gempong-gempong (yang dikepalai oleh seorang keuci).Tiap-tiap sagi dikepalai oleh panglima. Sagi atau sering disebut dengan Hulubalang Besar yang bergelar Teuku sedang untuk masing-masing distrik di kepalai oleh Hulubalang (Uleebalang) yang bergelar Datuk. Para Hulubalang Pusat, mempunyai kekuasaan yang otonom sifatnya; baik dalam mengatur tata pemerintahan wilayahnya sampai kepada pewarisan tahtanya. Sultan hanya berfungsi symbol pemersatu dari masing-masing sagi yang dikepalai langsung oleh hulubalang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan dibantu oleh seorang Mangkubumi yang membawahi empat mantri hari-hari (penasehat raja). Disamping itu Raja juga dibantu oleh Syahbandaaar untu mengurusi keuangan istana, Kepala Kreung (dibantu Dawang Kreung) untu mengurusi lalu lintas dimuara sungai, Panglima Losot sebagai penarik cukai barang-barang ekspor-impor dan Krani sebagai sekretaris istana.
Jabatan-jabatan tinggi istana ini kemudian di abad ke-17 dan e-18 lebih disempurnakan lagi, antara lain :
Hulubalang Rama Setia, sebagai Pengawal Pribadi Istana.
Kerkum Katib al-Muluk, Sekretaris Istana.
Raja Udah na Laila, sebagai Kepala bendaharawan istana dan perpajakan.
Sri Maharaja Laila, sebagai Kepada Kepolisian.
Laksamana Panglima Paduka Sirana, sebagai Penvakapan.
Sistem pergantian raja di Aceh pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan system di kerajaan-kerajaan lain. Hanya saja di Aceh sistemnya agak longgar, artinya tidak selalu terikat pada putra laki-laki saja tetapi wanita, kemenakan atau istri raja yang meninggal pun bisa. Sedangkan sistem politik yang bersifat eksternal ( yang berkenaan dengan orang-orang Asing ), beliau mengambil jalan keras dan mengadakan pengetatan terhadap mereka. Sayangnya pewaris istana sesudah beliau tidak lagi menempuh jalan yang beliau terapkan, mereka cenderung lebih bersifat kompromistis mungkin langkah ini mereka tempuh karena terpaksa.
Kerajaan Mataram
Sistem politik di kerajaan Mataram, kalau dibicarakan secara detail, sangat luas serta menyita waktu yang tidak sedikit. Kesempatan ini disinggung sedikit itupun hanya terbatas pada masa Panembahan Senopati hingga Susuhunan Amangkurat I. Hal ini sangat menarik mengingat suhu politik di periode-periode tersebut mengalami turun naik secara drastis; Periode Panembahan Sedo Ing Krapyak kemudian Sultan Agung lain dengan ayahnya dan Susuhunan Amangkurat I bertolak belakang dengan apa yang telah ditempuh pendahulunya.
Untuk sistem politik yang intern sifatnya, terutama yang menyangkut konsulidasi tata pemerintahan dalam negeri, seperti sistem birokrasi, system penggantian raja dan lain-lain masing-masing mereka hampir tak ada perbedaan andaikata ada itu hanya menyempurnakan apa yang telah berlaku.
Akan tetapi dalam hal penguasaan wilayah dan upaya ekspansi, kadang kandang mengalami kenaikan (banyak daerah yang dapat dikuasai) kadang-kadang menurun (banyak yang melepaskan diri dari pengaruh Mataram), seperti pada masa pemerintahan Panembahan Senopati di sini dengan kharismanya yang tinggi ia telah mampu mengangkat martabat Mataram ke strata yang lebih bergengsi (yakni daerah bawahan Pajang menjadi daerah yang berdiri sendiri). Akan tetapi ketika putranya berkuasa usaha ekspansi terhenti dan banvak daerah yang memberontak untuk melepaskan diri.
Degradasi politik Mataram segera bisa diatasi saat putranya, Sultan Agung, tampil sebagai pemegang tampuk pemerintahan bahkan pada masanya gengsi Mataram berada dalam posisi puncak. Daerah-daerah di seluruh Jawa, kecuali wilayah Barat semuanya berada dalam imperium Mataram. Ketika kendali pimpinan beralaih ke tangan Susuhunan Amangkurat I martabat Mataram menjadi merosot kembali, wilayah kekuasaannya pun semakin menciut. Dari keterangan di atas dapat diambil pengertian bahwa karisma rajalah yang memegang kunci penting sukses tidaknya, terangkat atau merosotnya martabat kerajaan. Karena raja memiliki kekuasaan sentral yang syah atas wilayah kekuasaannya, maka ia dipandang sebagai pusat kosmos dan dari pribadinyalah terpancar kekuatan yang berpengaruh pada alam dan masyarakat sekitarya.
Keabsahan (legitimitas) kedudukan dan kekuasaan raja Mataram, kecuali Panembahan Senopati, diperoleh karena warisan. Secara tradisional pengganti raja-raja ditetapkan putera laki-laki tertua dari permaisuri raja (garwa padmi), bila tidak ada maka putra laki-laki dari isteri selir (garwa ampeyan) pun bisa dinobatkan sebagai pengganti raja. Apabila terpaksa dari keduanya tidak didapatkan masa saudara laki-laki, paman atau saudara laki-laki tua dari ayahnya bisa menjadi pengganti.
Sistem penggantian raja di Mataram ini lebih terikat dibandingkan Aceh Darussalam yang longgar, di sini yang berhak mewarisi tahta hanya mereka yang dan jalur laki-laki dan kenyataannya hingga kini tak seorangpun penguasa Mataram, baik yang ada di Yogyakarta maupun di Surakarta (Solo) terdiri dari wanita.
Mengenai sistem politik eksternalnya, di antara penguasa Mataram bisa ditemui perbedaan-perbedaan yang menyolok dalam menerapkan sistem untuk menghadapi penetrasi Barat; ada yang menempuh sikap kompromistis dan ada pula yang anti pati sama sekali. Pada masa Panembahan Senopati, usaha tersebut memang belum ditemui. Hal ini disebabkan walaupun saat itu orang-orang Eropa sudah bermunculan di Nusantara, konsentrasi politik sedang dicurahkan untuk konsulidasi dan penguasaan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Sedangkan pada masa Panembahan Sedo, Krapyak kehadiran Belanda diterima dengan baik di akhir kekuasaannya.
Beda halnya dengan penguasa Mataram berikutnya, Sultan Agung, beliau termasuk penguasa yang antipati pada Kompeni. Berbagai usaha telah diupayakan untuk mengusik keberadaan dan membendung penetrasinya yang kian kuat di bumi Nusantara. Dua kali sudah ekspedisi militer ia kirimkan ke Batavia untuk memukul mundur VOC; masing-masing pada tahun 1628 dan 1629 walaupun pada akhirnya memperoleh kegagalan.
Setelah tokoh penentang keras kompeni itu wafat, Mataram kemudian diperintah raja yang pro dengan kompeni, Susuhunan Amangkurat I. Walaupun kebijaksanaan dan langkahnya mendapat tantangan dari kebanyakan rakyat tetapi ia tetap bersikeras melaksanakannya. Akhirnya meletuslah berbagai pemberontakan. Pada masanya wilayah Mataram, yang dulunya sangat luas pengaruhnya, sedikit demi sedikit berkurang. Sementara kekuasaan kompeni semakin luas, pengaruhnya terhadap sistem intern kerajaan semakin besar, system panggantian tahta, pengangkatan pejabat-pejabat tinggi kerajaan, pelaksanaan birokrasi dan lain-lain tak lepas dari pengawasan Belanda.
Kerajaan Banten
Meninggalnya Maulana Yusuf tahun 1580 merupakan awal terjadinya intrik politik di lingkungan istana, sebab ketika beliau wafat putra mahkota Pangeran Muhammad baru berusia 9 tahun. Momentum ini dimanfaatkan oleh Pangeran Arya Jepara (adik Maulana Yusuf) untuk menampilkan dirinya sebagai pengganti kakaknya. Ia menuntut kepada pembesar kerajaan Banten untuk menobatkan dirinya sebagai penguasa Banten sampai pangeran yang berwenang mencapai dewasa. Karena kehendaknya tidak dikabulkan kadli sebagai wali Sultan maka pertempuran pun tidak dapat dihindarkan lagi. Dalam pertempuran itu Pangeran Jepara dan prajuritnya kalah, akhirnya ia kembali ke Jepara dengan tangan hampa.
Setelah intrik politik yang ditimbulkan Pangeran Arya Jepara usai, suhu politik Banten mengalami perubahan yang serius; musyawarah kadli memutuskan sebagai pelaksana pemerintahan darurat sementara menunggu usia Sultan dewasa adalah Mangkubumi. Perubahan sistem ini kemudian membawa pengaruh yang besar bagi perjalanan politik di kesultanan Banten karena bagaimanapun tampilnya Mangkubumi sebagai pucuk pelaksana pemerintahan telah memancing rasa cemburu dan iri keluarga bangsawan, terutama kalangan pangeran. Suasana politik Banten menjadi semakin suram setelah gugurnya Maulana Muhammad dalam ekspedisi penyerangan Palembang dalam usia yang relatif muda. Karena putra mahkota masih 5 bulan usianya, maka untuk yang kedua kalinya kendali pemerintahan Banten dipegang oleh Mangkubumi. Secara otomatis jabatan mangkubumi menjadi incaran, banvak pangeran yang berambisi menduduki jabatan bergengsi itu. Sebagai akibatnya terjadilah pemberontakan-pemberontakan disana-sini yang membuat situasi politik menjadi melemah. Upava ekspansi tidak mungkin bisa dilaksanakan saat itu karena untuk menyelesaikan persoalan intern sendin cukup banvak menyita waktu sementara di luar istana Kompeni dan orang Eropa lainnya mulai bersiap untuk memasang politik adu dombanya.
Yang sangat tragis (akibat suhu politik yang tidak sehat) ialah Jayakarta, yang merupakan pelabuhan andalan, terpaksa jatuh ketangan Belanda pada tahun 1619.
Kerajaan Palembang
Pemerintahan
Wilayah kesultanan Palembang Darussalam kira-kira meliputi wilayah keresidenan Palembang dulu pada waktu pemerintahan Belanda ditambah dengan Rejang-Amput Petulai (lebong) dan Belalu, disebelah selatan dari danau Ranau. Pusat pemerintahan kesultanan berada di kota Palembang dimana pemerintahan dikendalikan oleh putra mahkota, yang juga penasehat sultan langsung, wakil dan pengganti.
Ekonomi
Perekonomian kesultanan Palembang, sesuai dengan letaknya, sangat dipengaruhi oleh perdagangan luar dan dalam negeri. Perdagangan diadakan dengan pulau Jawa, Riau, Malaka, negri Siam dan negri Cina. Disamping itu, datang pula dari pulau-pulau lainnya perahu-perahu yang membawa dan mengambil barang dagangan. Komoditi yang terpenting adalah hasil pertambangan timah.
Politik
Politik yang dijalankan di kesultanan selama berdirinya +50tahun, membuktikan telah berhasilnya menciptakan pemerintahan vang stabil, dimana ketentraman dan keamanan penduduk dan perdagangan terpelihara dengan baik. Demikian juga hubungan dengan negara-negara tetangga umumnya terjalin dengan baik, hanya ada satu kali perang saja sewaktu pra-kesultanan pada tahun 1596 dengan Banten yang berlatar belakang pertikaian ekonomi untuk memperebutkan pangkalan perdagangan di selat Malaka.
Prestasi politik pada masa pemerintahan Sultan Susuhunan Abdurrahman yang paling menentukan bagi perkembangan kesultanan Palembang Darussalam, adalah kebijaksanaannya untuk meiepaskan diri dari ikatan perlindungan (protektorat) Mataram kira-kira pada tahun 1675 tanpa menimbulkan penindasan dan peperangan. Hubungannya dengan Mataram tetap terpelihara dengan baik. Yang mendapat tantangan berat adalah politik dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme Eropa (Belanda dan Inggris) dengan kelebihan teknologi alat perangnya dan kelicikan politiknya, sehingga banvak mendatangkan kerugian kepada pihak kesultanan, dan akhirnya mengakibatkan hilangnya eksistensi kesultanan itu sendiri. Politik imperialis dan kolonialis ini yang dikenal dengan "Belanda minta tanah" dengan taktik tipu muslihatnva devide et impera.
Kerajaan Ternate
Jauh sebelum kedatangan bangsa bangsa Barat, kepulauan Maluku telah di kenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah yang pada waktu itu nilainya sangat tinggi di banding dengan hasil bumi lainnya. Sejak datangnya bangsa Portugis dan Belanda ke daerah Maluku menjadikan daerah tersebut sebagai ajang perebutan kekuasaan terhadap rempah-rempah antara dua bangsa itu maupun dengan kerajaan lokal yang ada di kepulauan Maluku.
Pada akhir abad ke 16 kerajaan Ternate meluaskan kekuasaannya ke daerah Maluku Tengah yaitu di Hoamoal (P. Seram), dan di pulaupulau kecil di sekitarnya (Buru, Manipang, serta Kelang dan Boanou) di mana motif yang sesungguhnya dalam exspansi ini tidak jelas tetapi ada kemungkinan karena faktor perdagangan cengkeh, dan adanya persaingan dengan bangsa-bangsa Portugis yang menguasai daerah Maluku. Dengan bertambah maju dan berkembangnya akan penanaman rempah-rempah seperti pala, cengkeh, lada maka menyebabkan semakin tingginya minat bangsa asing untuk meraih dan merangkul seluruh kepulauan Maluku. Sehingga tidak asing lagi kalau kerajaan Ternate serta seluruh kerajaan yang ada di Maluku mengadakan perlawanan dan peperangan yang mana dalam usaha tersebut tak ketinggalan pula peran ulama' yang dengan gigihnya merintangi dan melawan penjajah yang hendak menguasai wilayah serta perekonomian negerinya.
Adapun tata sususan raja-raja yang berkuasa di kerajaan Ternate yaitu :
Zainal Abidin sebagai Sultan Ternate I
Sirullah sebagai Sultan Temate II
Khairun sebagai Sultan Ternate III
Babullah sebagai Sultan Ternate IV
Keempat raja tersebut terkenal gigih dalam mempertahankan daerahnya dari serangan musuh yang datang dan ingin menguasainya, baik secara halus maupun terang-terangan. Demikianlah situasi kerajaan Ternate dan kepulauan Maluku, baik itu terjadi pada awal berdirinya kerajaan Ternate maupen pada masa perkembangannya.
Situasi politik Kerajaan Ternate seperti halnya kerajaan Islam yang lain juga telah mengenai politik dalam menjalankan pemerintahan. Dalam pergantian kekuasaan raja masih berlaku sistem turun temurun dan ini terbukti ketika Sultan yang pertama (Zainal Abidin) wafat. maka sebagai gantinya adalah putranya yang bernama Sirullah. Pada masa pemerintahan raja-raja Ternate telah beberapa kali terjadi perjanjian diantaranya adalah perjanjian dengan gubernur De Mesquita, seorang kristen vang dilakukan oleh Sultan Khairun. Beliau diundang dalam acara jamuan besar di Benteng Portugis untuk menghormati perjanjian yang telah mereka lakukan. akan tetapi diluar dugaan terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan. karena Sultan Khairun ditikam oleh seorang pengawal pribadi De Mesquita dan akhirnnya pada saat itu juga sultan meninggal. Dengan penstiwa tersebut, Babullah sebagai putranya menjadi marah dan seluruh daerah Ternate menjadi goncang baru kemudian pejabat atau orang-orang besar melantik Babullah menjadi sultan sebagai pengganti ayahnya. Dalam pelantikan itu rakyat diundang untuk menyaksikan dan bersorak sorai menyatakan kesetiaannya karena perhatian raja pada rakyatnya yang betul-betul terlihat dalam mensejahterakan mereka. Pada masa sebelum Islam datang, masyarakat Ternate menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, menganggap nenek moyang mereka adalah yang paling keramat. Tetapi setelah Islam datang keadaan menjadi berubah yang mana diawali masuknya raja mereka memeluk Islam dan diikuti oleh rakyatnya.
Sebagai kerajaan Islam, Kerajaan Ternate memiliki masjid sebagai tempat peribadatan. disamping itu juga dimanfaatkan sebagai tempat musyawarah untuk memecahkan masalah-masalah yang menyelimuti kerajaan. Demikian pula dengan para ulamanva juga tidak ketinggalan untuk menyumbangkan tenaganya guna membina rakyat, memberikan pengetahuan serta wejangan-wejangan kepada para pejuang untuk mengusir penjajah dan tanah air mereka.
Tercatat dalam sejarah, bahwa dalam pusat kerajaan Temate terdapat beberapa masjid dengan bangunan yang megah dan unik yang membedakan dengan bangunan masjid-masjid yang ada di daerah lain.
Kerajaan Makasar
Sultan Hasanuddin adalah sosok religius,dalam menghadapi bangsa asing yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah. Sangatlah non-cooperatif. Karena tindakan mereka yang serakah sangat bertentangan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Pemurah. Dalam hal ini adalah Belanda,yang ingin menguasai perdagangan di Makasar. Walaupun telah diblokade, tetapi tidak diacuhkannya. Beliau tidak ingin kehilangan sebagian daerahnya. Apalagi setelah diikat dengan perjanjian Bongaya yang sangat merugikannya. Beliau dan seluruh rakyat sangat marah serta bertekat untuk dengan segala kemampuannya melawan Belanda, walaupun akhirnya mereka kalah.
Sistem politik yang dilancarkan oleh Kerajaan Makasar adalah sistem terbuka. Politik dengan prinsip terbuka itu berdasarkan teori laut bebas. Teori ini dianut oleh raja-raja Makasar dan sesuai benar dengan status politik Goa Tallo, serta pelabuhan makasar pada saat itu. Sistem perdagangan terbuka ini dirasa lebih menguntungkan dari pada merugikan, lagi pula pedagang asing mendapat jaminan bagi usaha mereka sehingga perdagangan internasional tersebut dapat menghidupi dengan segala keuntungan dari padanva. Politik sentralisasinya cenderung diktator. Dalam memperlakukan kerajaan-kerajaan bawahannya, kurang menghormati dan cenderung menganggap sebagai daerah taklukan. Hal ini merupakan salah satu sebab runtuhnya kerajaan Makasar dari dalam.
Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar pada abad ke-17 M , ada hubungan dengan kerajaan Mataram di Jawa. Hubungan ini memberi pengaruh terhadap system pemerintahan kerajaan Banjar. Cence, sarjana Belanda mengatakan bahwa corak organisasi pemerintahan Banjar banyak dipengaruhi oleh Jawa, meskipun bukan dari Majapahit tapi mungkin dari Demak atau Mataram. Ia mengambil contoh organisasi kerajaan Kota Waringin yang merupakan bagian dari kerajaan Banjarmasin, yang jelas dipengaruhi oleh Jawa. Walaupun susunan organisasi pemerintahan dibangun menurut model Jawa. Raja dalam kekuasaannya tidaklah semutlak (seabsolut) raja-raja Mataram. Dalam kerajaan, disamping keturunan, kekayaan juga merupakan faktor yang menentukan dalam kedudukan raja. Pada hakekatnya pemerintahan lebih bersifat aristokratis, yang dikuasai oleh kaum bangsawan, di mana raja ditengah-tengah golongan bangsawan dan para pedagang besar hanya merupakan pemersatu belaka. Sultan dalam struktur kerajaan Banjar adalah penguasa tertinggi, yang mempunyai kekuasaan dalam masalah politik dan persoalanpersoalan keagamaan. Dalam struktur kerajaan ini di bawah Sultan adalah Putera Mahkota yang dikenal dengan sebutan Sultan Muta. Ia tidak mempunyai jabatan tertentu tetapi pembantu Sultan. Disamping Sultan, terdapat sebuah lembaga Dewan Mahkota yang terdiri dari kaum bangsawan dan Mangkubumi.
Mangkubumi adalah pembantu Sultan vang mempunyai peranan besar dalam roda pemerintahan. Jabatan Mangkubumi adalah jabatan yang biasanya dipegang oleh keluarga Sultan yang terdekat. Jabatan Mangkubumi tidak diadakan dengan cara turun temurun. Mangkubumi di dalam pemerintahan didampingi Menteri Panganan, MenteriPangiwa dan Menteri Bumi dan dibantu lagi oleh 40 orang Menteri Sikap. Tiap-tiap menteri Sikap mempunyai bawahan sebanyak 100 orang. Menteri aPanganan dan Menteri Pangiwa bertugas mengurusi perbendaharaan istana dan administrasi kerajaan termasuk pula Syahbandar yang bertugas mengatur perdagangan dengan dunia luar, Syahbandar mempunyai peranan penting dalam kerajaan mengingat pelabuhan di Kalimantan Selatan merupakan tempat persinggahan dari berbagai negara.
Dalam kerajaan Banjar sebelum abad ke-18 M pemimpin agama tidak termasuk dalam struktur kerajaan. Hukum Islam sebelumnya tidak diberlakukan dalam kerajaan. Hukum yang berlaku saat itu terhimpun dalam sebuah buku undang-undang hukum yang disebut Kutara, yang disusun oleh Arya Trenggana ketika dia menjabat Mangkubumi kerajaan. Mangkubumi mempunyai wewenang dalam keputusan terakhir terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Elite birokrasi di luar istana terdiri dari Adipati (Gubernur) untuk tingkat propinsi yang membawahi daerah-daerah yang setingkat dengan distrik (Kabupaten). Lalawangan membawahi yang setingkat dengan onderdistrik (kecamatan) yang dikepalai oleh Lurah, sedangkan Lurah membawahi desa yang dikepalai oleh Pembakal (kepala desa). Untuk melengkapi tata laksana di dalam keraton, maka dibentuk badan-badan khusus seperti Pasukan Sarawisa. Kelompok ini terdiri dari 50 orang, mereka bertugas melaksanakan pengawasan atas keamanan keraton. Kepala pimpinan Sarawisa ini disebut Surabraja. Tugas mengurus dan membersihkan (Bailarung) diserahkan kepada para petugas Mandung yang beranggotakan 50 orang yang dikepalai oleh pejabat Raksayuda. Pada saat para pembesar kerajaan menghadap raja, raja dikawal oleh pasukan pengawal yang beranggotakan 40 orang vang disebut kelompok Mamagasari. Petugas yang diserahi untuk memelihara dan merawat senjata adalah kelompok Saragam. Kelompok Saragani ini dikepalai oleh Saradipa. Kelompok Pariwara atau Singabana bertugas mengawasi dan menjaga keamanan pasar, kelompok ini dikepalai oleh Singantaka dan Singapati. Mereka beranggotakan 40 orang vang bertugas mengurusi pasar dan dinas kepolisian. Segala yang terjadi di pasar berada dalam pengawasan mereka.
Uang denda menjadi penghasilan mereka. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa dalam struktur kerajaan. Raja menduduki posisi sentral, namun dalam pelaksanaannya raja dibatasi oleh Dewan Mahkota yang beranggotakan bangsawan, keluarga dekat raja dan pejabat birokrasi tingkat atas seperti Mangkubumi. Dewan Mahkota berfungsi sebagai penasehat raja dalam memecahkan persoalan-persoalan penting seperti soal pemerintahan, penggantian tahta, pengumuman perang dan damai, hubungan dengan kekuasaan negara lain dan sebagainya.
Pengaruh Dewan Mahkota yang beranggotakan golongan bangsawan ini terhadap sikap dan tindakan raja sangat besar. Pengaruh ini sering disalah gunakan mereka untuk melemahkan kedudukan raja.
Kerajaan Jambi
Kesultanan Jambi, yang merupakan negara vassal Demak di awal abad XVI harus menghadapi kecenderungan sentrifugalnya secara terus menerus dalam sejarahnya. Pertama-tama kesultanan ini terdiri atas enam tradisi politik, bangsa VII-XII. Masing-masing dengan tatanan politik dan kelembagaan yang berbeda. Hubungan mereka masing-masing dengan sultan di Ibu Negeri, juga berbeda. Jika kelompok XII, yakni kelompok etnis yang bermukim di sepanjang sungai Batanghari berada langsung di bawah kekuasaan Sultan, maka orang-orang batin yang dianggap paling awal datang ke Jambi dan menempati daerah sepanjang Batang Anai serta Batang Tembesi hanyalah jajahan dari Sultan, walau orang batin agak bebas mengatur daerah mereka sendiri, mereka dikarenakan kewajiban membayar uang jajah, sebagai pengakuan terhadap kekuasaan Sultan, melalui instansi perwakilan Sultan yakni Jenang.
Di bidang politik dalam negeri, dalam kerajaan Jambi dikenal dengan adanya dua orang penguasa, yaitu raja "yang tua" dan raja "yang muda". Masing-masing kemudian dikenal sebagai Sultan dan Pangeran ratu (putra mahkota). Masing-masing mereka memiliki daerah pendukung di pedalaman dan mempunyai tanda kebesaran sendiri-sendiri. Namun demikian pemerintahan Jambi tidak terkesan otoriter dalam menerapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan terhadap rakyatnya. Sehingga amat kecil wibawanya di mata masyarakat, mekanisme kekuasaannya sangat lemah, yang paling berpengaruh adalah para orang kaya, saudagar dan hartawan. Tidak seperti Aceh dan Mataram pada abad XVII yang mampu menegakkan secara struktural kecenderungan otoritas Sultan-sultannya. Adanva dua orang raja juga dimaksudkan untuk kepentingan integrita kerajaan.
Di bidang politik luar negeri, untuk menjaga integritasnya, Jambi berusaha mengikat dirinya dengan sekutu yang selalu berubah-ubah yakni kerajaan-kerajaan di sekitar itu. Ini disebabkan karena kelemahan institusi politiknya. Dan jika perlu, ia harus menguasai kemaharajaan negen lain yang lebih kuat, untuk melindungi dirinya dari tetangganya yang agresif. Adapun sikap terhadap bangsa asing terutama bangsa Eropa, ia berusaha untuk menjalin hubungan sepanjang menguntungkan bagi dirinya.
Munculnya pemukiman-pemukiman di Kota Pesisir
Menjelang abad ke-13 M, di pesisir Aceh sudah ada pemukiman Muslim.Persentuhan antara penduduk pribumi dengan pedagang Muslim dari Abad, Persia, dan India memang pertama kali terjadi di daerah ini. Karena itu, diperkirakan, proses islamisasi sudah berlangsung sejak persentuhan itu terjadi. Dengan demikian dapat dipahami mengapa kerajaan Islam pertama di kepulauan Nusantara ini berdiri di Aceh, yaitu kerajaan Samudera Pasai yang didirikan pada pertengahan abad ke-13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat Muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke -15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam, yang merupakan kerajaan Islam Kedua di Asia Tenggara. Kerajaan ini cepat berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan Samudera Pasai yang kalah bersaing. Lajunya perkembangan masyarakat Muslim ini berkaitan erat dengan keruntuhan Sriwijaya. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), mata rantai penting pelayaran beralih ke Aceh, kerajaan Islam yang melanjutkan kejayaan Samudera Pasai. Dari sini, proses Islamisasi di kepulauan Nusantara berlangsung lebih cepat dari sebelumnya. Untuk menghindari gangguan Portugis yang menguasai Malaka, untuk sementara waktu kapal-kapal memilih menelusuri pantai Barat Sumatera. Aceh kemudian berusaha melebarkan kekuasaannya ke selatan sampai ke Pariaman dan Tiku. Dari pantai Sumatera, kapal-kapal memasuki Selat Sunda menuju pelabuhan-pelabuhan di pantai Utara Jawa. Berdasarkan berita Tome Pires (1512-1515), dalam Suma Oriental-nya, dapat diketahui bahwa daerah-daerah dibagian pesisir Sumatera Utara dan Timur Selat Malaka, yaitu dari Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dan kerajaan-kerajaan Islam. Akan tetapi, menurut berita itu, daerah-daerah yang belum Islam juga masih banyak, yaitu Palembang dan daerah-daerah pedalaman. Proses Islamisasi ke daerah-daerah pedalaman Aceh, Sumatera Barat, terutama terjadi sejak Aceh malakukan ekspansi politiknya pada abad ke-16 dan 17 M.
Sementara itu, di Jawa, proses islamisasi sudah berlangsung , sejak abad ke-11M, meskipun belum meluas; terbukti dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M). Berita tentang Islam di Jawa pada abad ke-11 dan 12 M memang masih sangat langka. Akan tetapi, sejak akhir abad ke-13 M dab abad-abad berikutnya, terutama ketika Majapahit mencapai puncak kebesarannya, bukti-bukti adanya proses islamisasi sudah banyak, dengan ditemukannya beberapa puluh nisan kubur di Troloyo, Triwulan dan Gresik. Bahkan, menurut berita ma-huan tahun 1416 M, di pusat Majapahit maupun di Pesisir, terutama di kota-kota pelabuhan, telah terjadi proses islamisasi dan sudah pula terbentuk masyarakat Muslim.
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan lemahnya posisi raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada raja-raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, meskipun bukan yang tertua dari Wali Songo, Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai kraton pusat.
Pengaruh Islam masuk ke Indonesia bagian Timur, khususnya daerah Maluku, tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang pada pusat lalulintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke-14 M, islam datang je daerah Maluku. Raja Ternate yang kedua belas, Molomatea (1350-1357 m) bersahabat karib dengan orang Arab yang memberinya petunjuk dalam pembuatan kapal-kapal, tetapi agaknya bukan dalam kepercayaan. Hal ini menunjukkan bahwa di Ternate sudah ada masyarakat Islam sebelum rajanya masuk Islam. Demikian juga di Banda, Hitu, makyan, dan Bacana. Orang-orang Islam datang ke Maluku tidak menghadapi kerajaan –kerajaan yang sedang mengalami perpecahan sebagaimana halnya di Jawa. Mereka datang dan Mnyebarkan agama Islam melalui perdagangan, dakwah, dan Perkawinan.
Kalimantan Timur pertamakali di Islamkan oleh Datuk Ri Bandang dan tunggang Parangan. Kedua mubalig itu datang ke Kutai setelah orang-orang Makassar masuk Islam. Proses Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi sekitar tahun 1575.
Sulawesi, terutama bagian selatan, sejak abad ke-16 M, di Sulawesi banyak sekali kerajaan yang masih beragama berhala. Akan tetapi, pada abad ke-16 di daerah Gowa, sebuah kerajaan terkenal di daerah itu, telah terdapat masyarakat Muslim. Di Gowa dan tallo raja-rajanya masuk Islam secara resmi pada tanggal 22 September 1605 M.
Proses Islamisasi pada taraf pertama di kerajaan Gowa dilakukan dengan cara damai oleh Dato’ Ri Bandang dan Dato’ Sulaeman keduanya memberikan ajaran-ajaran Islam kepada Masyarakat dan raja. Setelah secara resmi memeluk agama Islam. Gowa melancarkan perang terhadap Soppeng, Wajo, dan terakhir Bone. Kerajaan-kerajaan tersebut pun masuk Islam, Wajo, 10 mei 1610 M dan Bone, 23 November 1611 M.
Proses Islamisasi memang tidak berhenti sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, tetapi terus berlangsung intensitif dengan berbagai cara dan Saluran.
saluran dan cara islamisasi di indonesia
Saluaran Perdagangan
Pada taraf permukaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serata dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 membuat perdagangan-perdagangan muslim ( Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri dari bagian barat, Tenggara dan Timur Benua Asia.
Saluaran Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status social yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi sehingga penduduk pribumi, terutama puteri-puteri bangsawan,tertarik untuk menjadi isteri-isteri saudagar itu. Sebelum kawin, mereka di isalam kan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunya keturunan, keturunan mereka makin luas.akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan muslim.
Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf, atau para sufi, mengajarkan teosofi yang beracampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini puteri-puteri bangsawan setempat dengan tasawuf “bentuk” islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima.
Saluran Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kyai- kyai dan ulama’-ulama’ dipesantren atau pondok itu. Calon ulama’, guru agama dan kyai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang kekampung masing-masing atau berdakwah ketempat tertentu mengajarkan islam.
Saluran Kesenian
Saluran islamisasi malalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Sebagaian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita mahabarata dan Ramayana, tetapi didalam cerita itu disisikan ajaran dan nama-nama pahlawan islam, kesenian- kesenian lain juga dijadikan alat islamisasi seperti sastra (Hikayat, Babat dan Sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
Saluran Politik
Dimaluku dan sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk islam setelah Rajanya memeluk islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya islam di daerah ini. Disamping itu, baik Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan islam memerangi kerajaan-kerajaan nonislam. Kemenangan kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk kerajaan bukan islam itu masuk islam.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dibahas dalam bab sebelumnya maka kami selaku penulis akhirnya dapat menarik kesimpulan bahwa perkembangan islam di indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. (1) Singgahnya pedagang-pedagang Islam di Pelabuhan-pelabuhan Nusantaera. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina, (2) Adanya komunitas-komunitras Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya, disamping berita-beita asing, juga makam-makam islam, dan (3) Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
Sedangkan masuknya islam di Indonesia menurut uka tjandrasasmita dilakukan dengan enam saluran yaitu: Saluran perdagangan, Saluran perkawinan, Saluran tasawuf, Saluran pendidikan, Saluran kesenian, dan Saluran politik. Dari keenam saluran di ataslah islam bisa menjangkau hampir ke seluruh pelosok Indonesia yang salah satu pengaruhnya diakui sebagai kebudayaan Indonesia sendiri sampai sekarang seperti Pengaruh bahasa dan nama, Pengaruh adat-istiadat, Pengaruh kesenian.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Badri Yatih,M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2008
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
Harun, M. Yahya. 1994. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII. Yogyakarta : Kurnia Kalam Sejahtera.
Syamsu, Muhammad. 1996. Ulama Pembawa Islam di Indonesi dan Sekitarnya. Jakarta : Lentera.
Tim MGMP Sejarah. 2006. Sejarah IPA. Kudus : Prasati.
Zaeni. 2012. Buku Diktat Pendidikan Agama Islam Jilid V. Dharmotamma Satya Praja.
Comments
Post a Comment