Riba




Description: Description: C:\Users\ACER\Downloads\logo iain.jpg“RIBA”

 
OLEH:
Ungki Satro
141614 2354
DOSEN PENGAMPU:
BADRUN TAMAN, M. Si
PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU



Riba dalam Pandangan Alquran
A.    Riba dalam Pandangan Yahudi dan Nasrani
Konsep bunga dikalangan yahudi : Orang yahudi dilarang mempraktikan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka baik dalam perjanjian lama maupun undang-unfdang Talmud
kitab exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25: “jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia; janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya”
kitab deuteronomy (ulangan) pasal 23 ayat 29: “jangnlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan”
kitab levicitus (imamat) pasal 25 ayat 36-37: “janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba”.
 Konsep bunga di kalangan yahudi dan romawi : Pada masa yunani sekitar abad 6 sebelum masehi hingga satu masehi telah terdapat beberapa bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi dan tergantung dengan kegunaanya.
a.       Riba dalam Pandangan Filosof

b.      Riba dalam Islam
1)      Riba dalam Alquran:
Ø  al-Baqarah (2): 278-279
يَاَ يُّهَاالَّلذِ يْنَ اَ مَنُوْااتَّقُوااللَّهَ وَذَرُوْامَا بَقِيَ مِنَ ا لرِّبَوْ ااِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang berimanbertaqwalah kepadda allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah: 278)
فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْافَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُوْ لِهِ وَاِنْ تَبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْ لَاتَظْلِمُوْنَوَلَا تُظْلَمُوْنَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula menganiaya. (QS. Al-Baqarah:279)
Ø  al-Rum (30): 39
وَمَا اَتَيْتُمْ مِّنْ رِّبًا لِيَرْ بُوَا فِيْ اَمْوَ الِ النَّا سِفَلَيَرْبُواعِنْدَاللَّهِ وَمَااَتَيْتُمْ مِّنْ زَكَو ةٍ تُرِ يْدُوْنَ وَجْاَللَّهِ فَاُوْلَءكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamuberikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yag kamu maksutkan untuk mencapai keredoan Allah, maka orang-orang yang berbuat demikian itulah yang melipat gandakan pahalanya. (QS. Ar-Ruum:39)
Ø  Ali Imran (3): 130
يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ اَ مَنُوْ الَاتَأْكُلُواالرِّبَوااَضْعَا فًا مُّضَعَفَةً وّضتَقُوااللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali-Imran:130)
Ø  al-Baqarah (2): 275
اَلَّذِيْنَ يَأءكُلُوْ نَ ا لرِّبَوْالَايَقُوْ مُوْنَ اِلَّاكَمَاَيَقُوْمُ الَّذِيْيَتَخَبَّطُاُلشَّيْطَنُ مِنَ الْمَسِ ذَلِكَ بَاَنَهُمْ قَالُ, اَنَّمَاَالْبَيْعُ مِسْلُ
2)      Riba dalam Assunnah
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Quran, melainkan juga Al-Hadits. Hal ini sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Quran, pelarangan riba hadits terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah saw masih menekankan sikap Islam yang melarang riba.
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Diantaranya,
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasulullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (HR Bukhari no 2084 al-Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, “ Saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarnya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah saw, “Slepas itu Rasulullah saw terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati!Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), jualllah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu. “ ( HR Bukhari no. 2145, kitab al-Wakalah)
Diriwayatkan oleh Abdurahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai keinginan kita.” (HR Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah. “ (HR Muslim no. 2971, dalam kitab al-Masaqqah)
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah saw bersabda, “Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai daraah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu? Aku diberitahu bahwa laki-laki  yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.”(HR Bukhari no 6525, kitab at-Ta/bir)
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membeyarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu sama semuanya.”(HR Muslim no 2995, kitab al-Masaqqah).
Diriwayakan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.”
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan); yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/ menelantarkan ibu-bapaknya.”
3)      Perbedaan Riba Nasiah dan Riba al-Buyu’
Ø  Riba’ al-Buyu’
Riba’ jenis ini pula muncul daripada jual beli barangan ribawi. Ia merupakan ketidaksamaan pada berat atau kuantiti pertukaran 2 barang ribawi atau pertukaran tersebut dibuat secara tangguh.
a)      Riba’ an-Nasa’: Ia merupakan jual beli atau pertukaran 2 barangan riwabi yang sama jenis dan pertukaran tersebut dibuat secara tangguh (tidak sempurna dalam 1 masa).
contoh, Aminah membeli emas seberat 6 gram dengan harga RM1,000 secara tangguh (maknanya, ambil emas hari ini, bayarnya bulan depan). Riba an-Nasa' juga disebut sebagai riba an-Nasiah.
b)      Riba al-Fadhl: Merupakan jual beli atau pertukaran antara 2 barangan ribawi yang sama jenis dengan berbeza kadar berat (jika dijual dengan timbang) atau kuantiti (jika dijual secara bilangan kuantiti).
Sebagai contoh, Menukar 10 gram emas (jenis 916) dengan 12 gram emas (jenis kualiti 750). Pertukaran jenis ini adalah haram kerana sepatutnya kedua-duanya mesti sama timbangan (contoh: 10 gram atau 12 gram). Perbezaan kualiti tidak memberikan kesan kepada hukum.
Ø  Riba’ ad-Duyun
Riba jenis ini adalah riba’ yang muncul dari hutang. Ia merupakan lebihan yang terhasil disebabkan tempoh. Ia terbahagi kepada dua iaitu:
c)      Riba al-Qardh: Iaitu sebarang manfaat tambahan yang disyaratkan ke atas pemberian jumlah pinjaman pokok. Syarat ini dibuat pada awal kontrak pinjaman. Ia dikenakan oleh pemberi pinjam kepada yang meminjam. 
Sebagai contoh, Ahmad ingin meminjam RM1,000 daripada Mohd. Tetapi Mohd menetapkan syarat bahawa Ahmad wajib membayar semula hutang tersebut sebanyak RM1,200. Lebihan RM200 merupakan riba ad-Duyun jenis al-Qardh.

d)     Riba al-Jahiliyyah: Merupakan kadar atau sebarang manfaat tambahan lebih dari jumlah pokok, yang dikenakan oleh pemberi pinjam kepada peminjam akibat si peminjam gagal membayar pada tempoh yang telah dipersetujui.
contoh, Mohd bersetuju memberi pinjaman kepada Ahmad sebanyak RM500 dan dikehendaki membayar kembali satu bulan dari sekarang. Tetapi sekiranya Ahmad gagal membayar hutang Mohd sebelum atau pada 1 bulan yang telah ditetapkan, maka Ahmad dikehendaki membayar pada Mohd sebanyak RM600. Lebihan sebanyak RM100 merupakan riba’ ad_Duyun jenis al-Jahiliyyah.
4. Pandangan Para Ulama tentang Riba.
Secara umum ulama sepakat tentang pengharaman riba Nasi’ah. Sebaliknya mereka berbeda pendapat sekitar hukum riba Fadhl. Perbedaan terjadi dikalangan ulama, baik sahabat, tabi’in maupun pemikir hukum Islam (fuqaha) kemudian. Sejalan dengan itu, maka ada sejumlah ulama yang mengharamkan keduanya., riba nasi’ah dan riba fadhl. Dengan pengharaman ini, maka semua jenis yang dikelompokan pada kelompok riba, dan salah satu termasuk didalamnya bunga bank, adalah bunga yang diharamkan.
Sahabat dan tabi’in yang dengan secara mutlak membolehkan riba fadhl, sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah Ibn Umar (namun ada riwayat yang mengatakan, bahwa beliau sudah menarik fatwanya), Ibn ‘Abbas (diperselisihkan tentang penarikan pendapatnya), Usamah ibn Said, Abdulah ibn Zubair, Zaid ibn Arqam, Said ibn Mutsaijab dan Urwah ibn Zubair. Mereka berpegang pada hadits Nabi; “bahwa riba hanya pada nasiah”.
Sedangkan Ibnu Qayyim berpendapat, bahwa hukum asli riba memang dilarang. Namun untuk kondisi tertentu bisa ditolerir. Pentoleriran yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) untuk riba nasiah diperbolehkan dalam kondisi darurat, sama dengan kebolehan memakan binatang yang diharamkan dalam Islam ketika darurat. Sementara untuk (2) riba fadhl dibolehkan ketika dalam keadaan membutuhkan (hajat).
Namun perlu dicatat, bahwa Ibnu Qayyim mnggunakan istilah yang agak berbeda untuk tujuan yang sama. Untuk riba nasiah olehnya disebut dengan riba jali. Sedang riba fadhl disebut dengan riba khafi. Riba jali, menurut dia, hukumnya haram karena mengandung mudharat yang besar. Sementara riba khafi juga haram karena bisa membawa pada riba jali. Adapun pengharaman riba jali karena di dalamnya ada maksud menambah harta dengan cara bathil. Sedang pengharaman riba khafi karena didalamnya ada kemungkinan membawa kepada riba jali. Denga ungkapan lain, pengharaman riba khafi hanyalah bersifat Saddu al-Zarai (alasan preventif).
Muhammad Jamar Mughirah, mempunyai pemikiran yang sejalan dengan Ibnu Qayyim, bahwa pengharaman riba nasi’ah karena zatnya sendiri. Sementara pengharaman riba fadhl karena alasan preventif. Akhirnya dia mencatat, hukum mengambil riba fadhl dibolehkan dalam keadaan darurat. Adapun barometer darurat, bagi dia adalah jika keadaan itu benar-benar merupakan pokok untuk meneruskan hidup. Untuk sekedar perbandingan, dia memberikan ukuran hajat dengan kriteria, bahwa dengan hajat ini seseorang masih bisa menjadi kaya walaupun dengan jalan sabar dan sakit-sakit.

Comments

Popular posts from this blog

METODE PEMBELAJARAN MENYIMAK

Pantun daerah padang guci

APRESIASI PROSA FIKSI