Usaha Waralabah #Kewirausahaan #usaha #Waralabah #Labah


USAHA WARALABAH


BAB I
PENDAHULUAN
       A.      Latar Belakang
Model Bisnis berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan umat manusia. Ketika model bisnis ini berkembang dalam kehidupan sehari-hari, maka perkembangan ini harus direspon dengan tepat dan cermat. Respon yang tepat tidak hanya terkait dengan aspek manfaat dan mudharatnya, tetapi juga hukum syara’ yang terkait dengan model bisnis tersebut. Karena menurut Islam, kegiatan ekonomi harus sesuai dengan hukum syara’. Artinya, dalam konsep hukum Islam ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh dilakukan.
Kegiatan ekonomi dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bertujuan untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Semua kegiatan dan apapun yang dilakukan di muka bumi merupakan perwujudan ibadah kepada Allah SWT. Dalam Islam, tidak dibenarkan manusia bersifat sekuler, yaitu memisahkan kegiatan ibadah dan kegiatan duniawi. Oleh karena itu, hukum Islam hidup di tengah-tengah masyarakat dan masyarakat senantiasa mengalami perubahan maka hukum Islam perlu dan bahkan harus mempertimbangkan perubahan (modernitas) yang terjadi di masyarakat tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar hukum Islam mampu mewujudkan kemaslahatan dalam setiap aspek kehidupan manusia di segala tempat dan waktu.
Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur semua hal, dari tata cara beribadah kepada Allah SWT hingga urusan duniawi seperti bermuamalah, yang semuanya diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Salah satu bukti bahwa Al- Qur’an dan As-Sunnah tersebut mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal dapat dilihat dari segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan dalam kehidupan aktual. Misalnya, daya jangkau dan daya aturnya terhadap salah satu bentuk muamalah
yaitu kegiatan ekonomi.Kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntunan kehidupan.
Salah satu jenis bisnis yang berkembang saat ini adalah bisnis franchise atau waralaba.Sejak tahun 90-an dunia bisnis Indonesia mulai marak dengan pola waralaba, baik dari perusahaan asing maupun perusahaan lokal. Banyak pengusaha lokal yang mewaralabakan usahanya. Sektor bisnis yang diwaralabakan meliputi mini market, makanan, restoran, salon, pendidikan, kerajinan, business center, garmen, jewelry, laundry, hiburan, dan sebagainya. Fenomena ini bisa jadi sangat menarik. Sebab saat Indonesia memasuki masa krisis di tahun 1997 an, ekonomi Indonesia digambarkan dalam kondisi yang sangat terpuruk. Akan tetapi, dari penelitian menunjukkan bahwa sistem waralaba mampu bertahan bahkan dapat berkembang dengan pesat baik dari segi kualitas maupun kuantitas dan meraih puncaknya ketika memasuki millenium hingga saat ini, Bisnis waralaba sebenarnya sudah lama dikenal di Eropa dengan nama Franchise. Kata Franchise sebenarnya berasal dari bahasa Prancis yang berarti bebas, atau lebih lengkap lagi bebas dari hambatan (free from servitude). Dalam bidang bisnis,franchise berarti kebebasan yang diperoleh seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu.
Namun, ada yang berpendapat bisnis waralaba atau franchise adalah sistem kapitalis Amerika yang notabene tidak Islami. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, layak kiranya mempertanyakan adakah pola bisnis waralaba dalam sistem Islami. Banyak pengusaha muslim diIndonesia yang menjalankan bisnis waralaba tapi tidak mengetahui bagaimana konsep waralaba yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah definisi waralaba?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan waralaba?
3.      Bagaimana Asas Hukum Kontrak Umum dan Islam?
4.      Bagaimana Waralaba dalam perspektif islam?
5.      Apakah Kriteria Bisnis Waralaba Berbasis Syari’ah?




BAB II
PEMBAHASAN

      A.    Definisi Waralaba
Waralaba telah menjadi istilah yang sangat populer. Secara singkat waralaba digunakan untuk menunjukkan apa yang sebelumnya sering disebut sebagai pengaturan lisensi. Dalam arti yang populer, ada karakter dagang di mana seorang yang terkenal atau suatu karakter yang telah tercipta memberikan lisensi kepada orang lain, yang dengan lisensi tersebut mereka berhak untuk menggunakan sebuah nama.
Menurut pasal 1 dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang tata cara pendaftaran waralaba, pengertian waralaba (frenchise) adalah : “perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau kekayaan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang atau jasa.”
Kata “waralaba” dikenalkan pertama kali oleh Lembaga Pembinaan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) sebagai padanan dari istilah franchise. Amir Karamoy dalam bukunya “Sukses Usaha Lewat Waralaba” menyatakan bahwa waralaba bukanlah terjemahan langsung dari konsep franchise. Waralaba berasal dari kata “wara” yang berarti lebih atau istimewa dan kata “laba” berarti untung. Jadi,waralaba adalah usaha yang memberikan keuntungan lebih/istimewa. Dan secara hukum,waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk atau jasa dari pemilik (pewaralaba) kepada pihak lain (terwaralaba) yang diatur dalam suatu peraturan tertentu. Dalam konteks bisnis, franchise berarti kebebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri di wilayah tertentu.

      B.     Sejarah perkembangan waralaba
Kata franchise berasal dari bahasa Prancis kuno yang berarti “bebas”. Pada abad pertengahan, kata franchise diartikan sebagai “hak utama” atau “kebebasan”. Dalam sejarahnya, franchise terlahir di Inggris yang dikenal dalam aktifitas bisnis. Pada intinya, raja memberikan hak monopoli pada seseorang untuk melaksanakan aktifitas bisnis tertentu. Pada tahun 1840-an,konsep franchising berkembang di Jerman dengan diberikannya hak khusus dalam menjual minuman, yang merupakan awal dari konsep franchising yang kita kenal sekarang.
Konsep Franchise berkembang sangat pesat di Amerika. Dimulai pada tahun 1951, perusahaan mesin jahit singer mulai memberikan distribution franchise yang dilakukan secara tertulis yang merupakan awal lahirnya perjanjian franchise modern. Franchise berkembang tanpa adanya peraturan dari pemerintah Amerika dan menimbulkan resiko besar dengan maraknya penipuan pada franchise. Sehingga dibentuklah The International Franchise Assosiation (IFA) yang beranggotakan negara-negara di dunia dan berkedudukan di Washington DC.
IFA didirikan dengan tujuan khusus untuk mengangkat pamor bisnis Franchise dan mengadakan pelatihan-pelatihan khusus untuk meningkatkan citra franchise dan memperbaiki hubungan franchissor dan franchisee. IFA membuat kode etik yang harus ditaati anggotanya dan bekerjasama dengan Federal Trace Commision (FTC) Amerika.
Pada tahun 1978,FTC mengeluarkan dokumen yang mengatur tentang Franchise yang disebut dengan The Uniform Offering Circulation (UFOC). UFOC merupakan dokumen yang harus dibuat oleh Franchisor sebelum menjual bisnisnya dengan metode franchise. Diharapkan UFOC dapat menjadi sumber informasi bagi Franchisee sebelum menentukan bergabung dalam usaha bisnis dengan metode franchise.
Di Indonesia bisnis Franchise sudah lama berkembang. Sebagai contoh adalah pendistribusian minyak oleh pertamina. Pada tahun 1996 tercatat telah ada 119 franchise asing dan 36 franchise lokal. Metode bisnis ini semakin dikembangkan mengingat bisnis dengan metode ini menguntungkan bagi franchisor,franchisee dan perekonomian nasional.

      C.    Asas Hukum Kontrak Umum dan Islam
Dalam melakukan perjanjian atau kontrak, selain harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada, diharuskan juga mengikuti asas-asas dalam perjanjian yang ada. Secara umum , asas tersebut adalah :
1. asas kebebasan berkontrak, yang diatur dalam pasal 1338 KUHPer.
2. Asas kesepakatan atau konsensual
3. Asas itikad baik
4. Asas kekuatan mengikat ( pacta sunt servanda )
5. Asas berlakunya perjanjian
6. Asas kepatutan dan kebiasaan
Dalam perkembangan perekonomian dewasa ini, pengaruh Islam dalam perkembangan perekonomian tidak dapat dipandang sebelah mata. Islam yang merupakan agama yang lengkap dan sempurna mengatur kehidupan umatnya secara kompleks. Baik dari peribadatan hingga urusan kenegaraan dan perekonomian.
Dalam hal perekonomian Islam memiliki ketentuan tersendiri bagi umatnya, yang bersumber pada Al-Qur’an dan As sunnah.
Asas dalam perikatan Islam adalah :
1. Asas ilahiyyah
2. Asas kebebasan
3. Asas persamaan atau penyetaraan
4. Asas keadilan
5. Asas kerelaan
6. Asas kejujuran dan kebenaran
7. Asas tertulis

      D.    Waralaba dalam perspektif islam
Dengan meneliti format dan konsep bisnis waralaba, dapat kita ambil kesimpulan bahwa keberadaan waralaba dewasa ini merupakan akibat dari perkembangan ekonomi dalam hal transaksi bisnis. Bisnis ini dilakukan oleh dua pihak yang berakad, baik berupa badan usaha maupun perorangan sebagai subyek hukumnya. Kekhasan dalam sistem ini terletak pada obyek perjanjian atau kontrak yang berupa hak kekayaan intelektual (HAKI). Yang hukumnya dalam fikih muamalah adalah mubah atau boleh. Dan kebolehan ini terjadi selama tidak ada unsur keharaman dalam obyeknya. Baik dari segi dzat (lidzatihi) maupun nondzatnya (lighairihi). Dan selama tidak bertentangan dengan akad syariah dan asas-asasnya.
Obyek dalam akad ini adalah hak kekayaan intelektual yang bisa dikategorikan ke dalam benda (‘ain) dan format bisnis yang terkategori dalam perbuatan (fi’il). Meskipun keduanya tak terpisahkan tetapi tetap saja tidak menggugurkan keberlakuan asas-asas dan prinsip muamalah dalam Islam.
Dalam hal ini, prinsip bisnis yang digunakan adalah ijarah (sewa-menyewa). Franchisor adalah pemilik hak atas kekayaan intelektual yang dijadikan obyek akad. Dan pemanfaatannya oleh franchisee akan dikenai suatu kompensasi yang berupa pembayaran sejumlah uang sebagai imbalannya. Dalam ijarah, kompensasi tersebut dapat diberikan secara tunai (naqdan) atau tangguh (mu’ajjal). Mengenai jumlah imbalan, selain dapat diketahui dengan perkiraan dapat pula diketahui dari hasil penjualan produk (royalty).
Dari analisis yang kami temukan, akad dalam bisnis waralaba dapat berupa akad berbentuk ijarah, berprinsip tijarah dalam penjualan barang yang dikelola dan dipasarkan oleh penerima waralaba, dan dapat bersistim mudhorobah atau bagi hasil sehingga ia berhak menerima nisbah dari investasinya atau menanggung resiko finansial atas modal yang disertakannya.
Dalam sistem bisnis waralaba Islami diperlukan sistem syariah sebagai pembatas atau filter-nya, dengan tujuan menghindari penyimpangan moral bisnis ( moral hazard ). Filter tersebut adalah menjauhi pantangan yang tujuh atau yang disebut dengan MAGHRIB.

      E.     Kriteria Bisnis Waralaba Berbasis Syari’ah
Krieria-krieria bisnis waralaba syari’ah diantaranya:
1. Menanamkan nilai keadilan dan kejujuran dalam setiap mekanisme bisnis waralaba yang dijalankan karenaAllah telah memerintahkan hamba-hambanya untuk berbuat adil dan jujur seperti firman Allah SWT dalam Al – Qur’an surat An-Nahl ayat 90 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.(An–Nahl ayat 90).
2. Dalam bisnis waralaba berbasis syari’ah diperlukan sistem nilai syariah sebagai filter moral bisnis yang bertujuan untuk menghindari berbagai penyimpangan moral bisnis (moral hazard). Filter tersebut adalah dengan komitmen menjauhi 7 pantangan magrib diantaranya :
a. Maisir
Dalam bisnis waralaba bebasis syari’ah tidak diperbolehkan terdapat hal - hal yang mengandung unsur maisir atau bersifat spekulasi (gambling) karena maisir tidak dapat memperlihatkan secara transparan mengenai proses dan keuntungan yang akan diperoleh. Proses dan hasil dari bisnis yang dilakukan tidak bergantung kepada keahlian, kepiawaian, dan kesadaran melainkan digantungkan pada sesuatu atau pihak luar yang tidak terukur. Pada konteks ini yang terjadi bukan upaya rasional pelaku bisnis, melainkan sekedar untung-untungan (Muhammad, Faruroni, 2002).
b. Asusila
Dalam segala mekanisme bisnis waralaba berbasis syari’ah tidak diperbolehkan adanya hal-hal yang melanggar kesusilaan dan norma sosial.
c. Gharar
Gharar pada arti asalnya bermakna al-khatar, yaitu sesuatu yang tidak diketahui pasti benar atau tidaknya (Muhammad, 2002).
d. Objek Haram
Dalam bisnis waralaba berbasis syari’ah tidak diperbolehkan memiliki objek transaksi maupun proyek usaha yang bersifat haram dan dilarang agama.
e. Riba
Dalam penentuan franchise fee dan royalty fee, dalam penentuan franchise fee pewaralaba harus adil dalam menentukan berapa besar biaya yang dibebankan kepada terwaralaba untuk semua jasa yang disediakan, termasuk biaya rekruitmen sebesar biaya pendirian yang dikeluarkan oleh pewaralaba untuk kepentingan terwaralaba dalam menjalankan bisnisnya tersebut. Tidak boleh ada biaya-biaya tambahan di luar hal tersebut karena akan menyebabkan bisnis waralaba tesebut mengandung riba. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan).
f. Ikhtikar
Dalam menjalankan bisnis waralaba berbasis syari’ah tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang mengandung unsur monopoli (ikhtikar).Ikhtikar merupakan upaya penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan permainan harga yang dilarang oleh agama karena bisa membawa bahaya (mudhorot). Seperti Hadist Rasulullah SAW yang artinya: “Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa”. (HR. Muslim)
g. Berbahaya
Yaitu segala bentuk transaksi dan usaha yang membahayakan individu maupun masyarakat serta bertentangan dengan kemaslahatan

F.Kelebihan dan Kekurangan Menjalankan Bisnis Waralaba

A. Kelebihan
1. Manajemen bisnis telah terbangun
Tidak seperti membangun bisnis sendiri, sistem waralaba telah memiliki manajemen bisnis yang siap dan matang. Biasanya para pewaralaba pun mulai memberi kesempatan membuka waralaba karena bisnis yang dijalani sudah matang, memiliki pasar yang tidak berubah-ubah, dan juga memiliki reputasi yang baik sehingga manajemen dan strategi bisnis yang dijalankan sudah berkelanjutan.
2. Merek atau brand sudah dikenal masyarakat
Brand yang sudah dikenal oleh masyarakat biasanya sudah memiliki konsumen dan pasarnya sendiri sehingga para franchisee tidak perlu memikirkan strategi pemasaran dan analisis pesaing. Merek yang baik pasti juga memiliki liputan media yang luas sehingga bisnis waralaba akan lebih mudah dikenal oleh masyarakat.
3. Kerjasama yang telah terbangun sejak awal
Orang yang membeli waralaba akan mendapatkan keuntungan kerjasama yang telah terbangun sebelumnya oleh pemilik waralaba. Contohnya kerjasama dengan pemasok bahan baku, pihak periklanan dan pemasaran, dan lain sebagainya. Dengan kerjasama yang baik, franchisor biasanya memberikan dukungan berupa pelatihan manajemen finansial, pemasaran, dan juga pasokan sumber daya.
4. Peluang sukses yang lebih cepat
Bisnis waralaba biasanya memiliki peluang sukses yang lebih cepat karena liputan media yang baik dan juga sudah memiliki pasar dan konsumen yang setia. Biaya modal yang dikeluarkan juga terukur karena pasokan sumber daya dan strategi pemasaran yang sudah matang dari franchisor.
5. Manajemen finansial lebih mudah
Setiap investor biasanya lebih suka untuk memberikan modal pada bisnis yang telah kokoh dari segi finansial dan jaringan pemasaran. Dengan menggunakan bisnis waralaba, maka sistem manajemen finansial telah ditetapkan oleh pemilik waralaba utama. Sehingga Anda tidak perlu pusing dengan manajemen finansial seperti membangun bisnis baru.



B. Kekurangan
Kurangnya kendali dari pembeli waralaba terhadap bisnisnya sendiri. Hal tersebut dikarenakan semua sistem telah ditentukan oleh pemilik waralaba. Sehingga ruang gerak pembeli waralaba akan sangat terbatas. Ide-ide untuk berkreatifitas pun terkadang tidak dapat diaplikasikan, karena adanya perjanjian-perjanjian khusus.
Meskipun bisnis waralaba memiliki pasar yang matang, para pembeli waralaba biasanya terjebak dalam tren pasar. Perilaku konsumen yang berubah-ubah terhadap tren mampu memengaruhi kondisi bisnis waralaba. Misalnya, franchise Thai Tea yang sudah mulai tergerus trennya dan digantikan dengan minuman campuran Yakult dan juga susu gula aren.
Ketergantungan pada reputasi waralaba lainnya. Jika waralaba yang lain melakukan kesalahan yang mengakibatkan rusaknya reputasi, maka hal tersebut juga akan memengaruhi waralaba yang sedang Anda kelola.
Membutuhkan modal yang lebih banyak. Pihak pewaralaba akan mengajukan biaya awal untuk membeli perjanjian waralaba. Kemudian ada juga biaya lanjutan untuk pelatihan dan dukungan bagi para pembeli waralaba.
Adanya pemotongan keuntungan. Pembeli waralaba memiliki kewajiban untuk membayar royalti dari sejumlah keuntungan yang didapatkan. Jika keuntungan yang didapatkan sedikit, berarti keuntungan tersebut akan dipotong untuk menutupi biaya tersebut.
Banyak orang berpikir bahwa menjalankan bisnis waralaba akan mudah mendapatkan keuntungan lebih besar karena brand telah dikenal banyak orang. Tetapi pada kenyataannya, hal tersebut belum tentu terjadi. Biaya yang dikeluarkan oleh pembeli waralaba kepada pihak pemilik waralaba akan dipotong dari keuntungan yang didapat. Pembeli waralaba memang akan mendapatkan banyak kemudahan di saat-saat awal usaha. Tetapi untuk jangka panjang, para pemilik waralaba terkadang akan menemukan bahwa memulai bisnis sendiri mungkin akan jauh lebih menguntungkan.

G.   Perjanjian dan Kewajiban  pemberi Waralaba
Asas perjanjian yang tersirat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu asas kebebasan berkontrak. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sampai dengan batas tertentu, ketentuan dalam perjanjian yang disepakati oleh para pihak harus dihormati. Di Indonesia meskipun tidak dirumuskan secara eksplisit mengenai pembatasan tersebut, namun dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, terdapat pembatasan bahwa setiap perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan, kesusilaan dan ketertiban umum. Secara khusus dalam peraturan tertentu yang melarang setiap perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum.

Sehubungan dengan syarat sahnya perjanjian waralaba antara pemberi waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee), harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai berikut:
-         Adanya kesepakatan (isi atau klausul perjanjian);
-         Umur para pihak sudah mencapai 18 tahun atau sudah pernah melakukan perkawinan (cakap atau dewasa menurut hukum);
-         Mengenai hal tertentu, dalam hal ini mengenai waralaba;
-         Suatu causa yang halal, tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Pengertian Waralaba yaitu hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan Perjanjian Waralaba (Pasal 1 butir 1 Permendag 31/2008).

Berdasarkan pengertian tersebut, hal yang perlu dipahami terkait dengan pemberian lisensi dalam waralaba adalah kerahasiaan atas seluruh data, keterangan dan informasi yang diperoleh oleh penerima waralaba dari pemberi waralaba. Umumnya, lisensi merupakan rangkaian independen dan sulit dipisahkan. Untuk melindungi rangkaian inilah maka kemudian dilakukan pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan selanjutnya pemberi waralaba mewajibkan penerima waralaba untuk merahasiakannya.

Adapun Perjanjian Waralaba berdasarkan Pasal 5 PP 42/2007 Perjanjian Waralaba, setidaknya memuat:
(i)         nama dan alamat para pihak;
(ii)        jenis Hak Kekayaan Intelektual;
(iii)      kegiatan usaha;
(iv)     hak dan kewajiban para pihak;
(v)       bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
(vi)     wilayah usaha;
(vii)    jangka waktu perjanjian;
(viii) tata cara pembayaran imbalan;
(ix)      kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
(x)       penyelesaian sengketa; dan
(xi)      tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.

Ingat, pemberi waralaba merasa memiliki andil besar dalam sistem waralaba yang telah dikembangkannya karena dianggap berhasil dan oleh karenanya telah didaftarkan dan memperoleh Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (“STPW”).

Lalu bagaimana pemegang STPW ini melindungi haknya, dan kenapa harus dirahasiakan? Kerahasiaan tersebut semata-mata ditujukan untuk melindungi bisnis yang dimiliki pemberi waralaba dari “pencurian” oleh penerima waralaba. Walaupun dalam praktiknya jamak kali dilakukan pengembangan-pengembangan atas “rahasia” bisnis tersebut melalui cara ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) yang kemudian sudah menjadi sistem waralaba baru yang independen.

Merujuk lagi pada kerahasiaan dan upaya untuk melindunginya, maka sering diatur ketentuan non-kompetisi (non-competition clause). Jika dalam ketentuan kerahasiaan penerima waralaba hanya diwajibkan untuk merahasiakan data dan informasi sistem waralaba, dalam ketentuan non-kompetisi ini penerima waralaba tidak diperkenankan untuk melaksanakan kegiatan yang sama, serupa, mirip, ataupun yang langsung atau secara tidak langsung akan berkompetisi dalam kaitan pemberian lisensi waralaba tersebut dalam jangka waktu tertentu. Baik dengan menggunakan atau tidak mempergunakan satu atau bahkan lebih informasi yang dimiliki oleh penerima waralaba.

Pembatasan non-kompetisi ini dalam banyak hal ditindaklanjuti dengan larangan melakukan kegiatan yang serupa dengan waralaba setelah pengakhiran perjanjian waralaba.

Yang menjadi pertanyaan, apakah larangan atau pembatasan ini bertentangan dengan peraturan dan ketertiban umum yang dimaksud dalam Pasal 1337 KUHPerdata? Jawabnya, tidak.

Sejauh ini ketentuan mengenai pencantuman non-kompetisi tidak dilarang, baik dalam norma yang hidup di masyarakat (tidak tertulis) maupun peraturan perundang-undangan (bersifat tertulis). Oleh karena itu, sepanjang ketentuan non-kompetisi tersebut disepakati oleh para pihak dalam perjanjian waralaba, maka ketentuan tersebut sah dan berlaku mengikat para pihak.

Demikian penjelasan kami semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
2.      Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba;
3.      Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Franchise Agreement (Perjanjian waralaba) adalah dokumen krusial baik sebagai franchisee (terwaralaba) maupun franchisor (pewaralaba). Jika Anda sebagai franchisee, membeli franchise bisa jadi adalah investasi signifikan buat Anda. Meskipun Anda sudah cukup tertarik dengan franchise yang ditawarkan, sangat disarankan untuk tidak menanda-tangani perjanjian waralaba terlebih dulu, atau membayar fee, menaruh deposit, menyiapkan lokasi hingga mendapatkan kejelasan dan kesepakatan atas isi perjanjian. Cara paling sederhana untuk memulainya adalah mendapatkan draft perjanjian dari dari franchisor. Mengapa demikian?
Pertimbangan berikut ini yang menyebabkan sebaiknya penyiapan bisnis dilakukan setelah perjanjian ditanda-tangani :
Sengketa antara franchisor dan franchisee sebagian besar disebabkan dari ketidak jelasan perjanjian antara keduanya.
Anda akan berada pada posisi lemah jika telah mengeluarkan sejumlah uang, seperti membayar sewa dan membeli peralatan, sebelum menanda-tangani perjanjian.
Isi perjanjian akan menentukan tingkat imbal hasil bisnis Anda. Fokuskan pada biaya-biaya yang menjadi kewajiban Anda ke franchisor. Untuk biaya dalam bentuk persentase tentukan besarannya di awal dengan tegas, hindari kalimat ‘akan ditentukan kemudian’, dst. Ingat ilustrasi penawaran tidak memiliki kekuatan hukum dan hanya sebagai alat pemasaran belaka.
Disamping biaya, pos pendapatan juga mendapat harus diperhatikan. Adakah terdapat pendapatan lain-lain, seperti sewa? Bagaimana pembagiannya?
Nah untuk membantu mempelajari Franchise Agreement berikut adalah 8 area utama yang harus tercantum pada perjanjian, yang 6 diantaranya juga terdapat pada ketentuan British Franchise Association :
1. Jangka waktu Term
Jangka waktu dalam perjanjian harus memuat berapa lama perjanjian berlangsung. Bagaimana memperbaruinya dan apa persyaratannya.
2. Teritorial (Territory)
Adalah area (teritorial) yang berlaku dalam perjanjian, apakah hanya satu kota atau bisa kota lain bahkan negara lain. Apakah Anda diberikan hak ekslusif untuk suatu area atau terdapat franchisee lainnya dalam teritori tersebut.
3. Hak dan kewajiban Idealnya posisi antara franchisee dan franchisor adalah seimbang. Namun dalam prakteknya kondisi ini sulit diperoleh. Franchisee biasanya berada sedikit di bawah franchisor. Hak dan kewajiban masing-masing harus dinyatakan secara tertulis di perjanjian. Jika terdapat asuransi-asuransi yang dibutuhkan harus dinyatakan dengan tegas pihak yang menanggung. Bagian ini perlu dicermati karena mayoritas sengketa bermula dari sini.
4. Hak Kekayaan Intelektual Ini terkait dengan merek yang digunakan, dan bagaimana perlakuannya. Jika terdapat goodwill harus dinyatakan bagaimana perlakuannya. Penting juga dinyatakan, jika franchisor adalah pemegang master franchise, bagaimana perlakuannya jika hak master-franchise dari franchisor utama tersebut berakhir. 
5. Biaya-Biaya (Fee) Terdapat banyak biaya yang mesti Anda bayarkan dalam bisnis ini. Pastikan semua biaya tersebut dinyatakan dalam perjanjian berikut besarannya. Tiap franchisor menetapkan biaya beragam, biasanya berupa Franchise Fee (initial fee), royalty fee on sales, dan regular management fee. Biaya-biaya lain yang dimungkinkan adalah joint marketing fee. Perlakuan fee tersebut harus ditulis dengan tegas besarannya, apakah flat atau progresif.
6. Dukungan (Support) dari Franchisor Perjanjian-perjanjian harus memuat secara tegas dukungan yang dijanjikan oleh franchisor. Dukungan-dukungan tersebut memuat diantaranya namun tidak terbatas pada :
Dukungan sebelum memulai bisnis, seperti perijinan, pemilihan lokasi, riset awal, desain toko, pencarian peralatan (equipment), rekruitment.
Dukungan operasional, meliputi teknologi informasi, jaminan pasokan barang/jasa, asuransi, standard operation & procedure (SOP), regular training, riset pasar, administrasi serta laporan-laporan. Tentukan jadwal atau tanggal-tanggal dukungan itu dapat dipenuhi oleh franchisor.
Dukungan umum (general support), meliputi bantuan hukum, perpajakan.
7. Batasan-batasan (Restriction) Mengingat franchise lebih sebagai duplikasi bisnis, maka dalam operasinya harus berdasarkan SOP dari franchisor. Bagian ini harus memuat secara tegas apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Contoh, apakah Anda diperbolehkan menentukan harga berbeda? Apakah diperbolehkan memiliki bisnis serupa? Adakah larangan menjalankan bisnis sejenis paska habisnya perjanjian? Juga penting diperhatikan adalah bagaimana pasokan diperoleh, apakah semuanya dari franchisor, atau diperbolehkan dari supplier lain. Apakah terdapat jaminan pasokan dari franchisor.
8. Exit Strategy Bagian akhir perjanjian sebaiknya memuat bagaimana jika terjadi pemutusan perjanjian lebih awal dan dengan kondisi-kondisi seperti apa saja. Exit Strategy ini juga sebaiknya menjelaskan apakah Anda diperbolehkan menjual/mengalihkan franchise yang telah Anda beli karena alasan-alasan tertentu seperti kesulitan finansial misalnya
Contoh berikut (lihat gambar) ini adalah tahapan-tahapan dalam membeli franchise Domino’s Pizzas di Amerika. Yang diambil dari situs http://www.ehow.com/how_2086845_buy-dominos-pizza-franchise.html. Perhatikan Step-7, tanda-tangan kontrak perjanjian bahkan baru dilakukan setelah franchisee mendapat program pelatihan bisnisnya.
Tips penting sebelum menanda-tangani perjanjian
Konsultasikan draft perjanjian kapada lawyer dan akuntan untuk membantu Anda memahami risiko terkait pembelian franchise.
Selalu investigasi reputasi franchisor. Investigasi dapat Anda lakukan sendiri seperti mencari informasi pada asosiasi, franchisee sebelumnya, atau informasi dari internet.
Meskipun kecil, tanyakan juga pihak yang membayar biaya notaris perjanjian Anda. Apakah dibagi berdua atau salah satu pihak.
Setelah semua klausul dalam perjanjian disepakati kedua belah pihak, silakan untuk menanda-tanganinya. Dan segeralah menyiapkan bisnis franchise Anda.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Waralaba (Franchise) merupakan suatu bentuk bisnis kerjasama yang dilakukan oleh dua belah pihak, dimana pihak pertama (franchisor) memberikan hak kepada pihak kedua (franchisee) untuk menjual produk atau jasa dengan memanfaatkan merk dagang yang dimiliki oleh pihak pertama (franchisor) sesuai dengan prosedur atau system yang diberikan.
Waralaba merupakan salah satu bentuk perikatan/atau perjanjian dimana kedua belah pihak harus memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Perjanjian  waralaba  adalah  perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, agama, ketertiban umum, dan kesusilaan. Artinya perjanjian itu menjadi sebuah aturan bagi mereka yang  membuatnya,  dan  mengikat  kedua  belah  pihak.  Perjanjian  bisnis waralaba ini merupakan perjanjian baku timbal balik dimana masing-masing pihak berkewajiban melakukan prestasi sehingga akan saling menguntungkan.
Kemudian banyak orang yang mengatakan bahwa waralaba itu sama dengan lisensi, padahal pada kenyataannya kedua istilah tersebut berbeda baik dari segi pengertian maupun dari segi pengaplikasiannya. Lisensi merupakan pemberian hak merk/hak cipta kepada pihak tertentu dan tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan bimbingan ataupun pelatihan kepada penerima lisensi. Sedangkan di dalam bisnis waralaba, pihak franchisor mempunyai kewajiban untuk memberikan pelatihan dan bimbingan kepada pihak franchisee.

DAFTAR PUSTAKA

Balgis Bin Faruk Machrus, Prinsip Dasar Bisnis Waralaba Berbasis Syari’ah, jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/viewFile/1666/1529 diakses pada tanggal 23 Mei 2015,
Denny Bagus Perusahaan Waralaba (Franchise): Definisi, Jenis/bentuk dan Keunggulan dan Kelemahan sistem Franchise, jurnal-sdm.blogspot.com/.../perusahaan-waralaba-franchise-definisi.html.

Comments

Popular posts from this blog

METODE PEMBELAJARAN MENYIMAK

Pantun daerah padang guci

APRESIASI PROSA FIKSI